Friday, June 1, 2007

Menggugat Moralitas Caleg Terpilih

SURAT No. 25/A/PANWASLU/PLP/VIII/2004 tanpa ampun "menegur keras" proses elektoral pemilu legislatif 5 April 2004. Lewat surat ini, Panwaslu merekomendasikan kepada KPU agar 102 caleg (DPR, DPRD provinsi, DRPD kabupaten/kota, dan DPD) yang terpilih dibatalkan keabsahannya untuk duduk menjadi anggota dewan.

Ke-102 caleg (kategori A) tersebut terindikasi cacat administrasi (menyandang status PNS, TNI, dan Polri), terbukti atau mengaku memakai ijazah palsu untuk memenuhi syarat pencalegan (mayoritas), divonis pidana lima tahun atau lebih, terbukti melakukan praktik politik uang berdasarkan vonis pengadilan, keterangan lulusnya dicabut oleh lembaga pendidikan asal, Depag atau Dinas Pendidikan Nasional, dan institusi pendidikannya tidak diakui. Saya menyebut caleg terpilih dan bukan anggota terpilih sebab sebelum dilantik seseorang belum sah bergelar anggota dewan di DPR, DPRD provinsi, ataupun DPRD kabupaten/kota.

Dari 102 caleg terpilih itu, ada 3 orang calon anggota DPR, asal Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Dua orang calon anggota DPD, masing-masing asal NTT dan Maluku Utara. Sebanyak 83 calon anggota DPRD kabupaten/kota dan 16 calon anggota DPRD provinsi. Sisanya, 257 (kategori B) caleg bermasalah masih dalam proses penelitian jajaran Panwaslu di daerah, atau dalam proses penyidikan atau penyelidikan atau pengadilan atau banding atau kasasi.

Data Panwaslu menyebutkan, dari Jawa Barat caleg terpilih yang bermasalah dari segi pendidikan ada 11 calon anggota DPRD kabupaten/kota, kategori A sebanyak lima orang, dan kategori B enam orang. Anggota bermasalah dari segi administrasi status PNS/Polri/TNI sebanyak satu anggota DPRD provinsi. Jumlah ini jauh lebih sedikit ketimbang Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing menangguk 37 dan 33 kasus.

Angka caleg bermasalah sebanyak 359 orang itu amatlah sedikit dengan jumlah caleg terpilih yang di seluruh tanah air mencapai sekira 17.000 orang. Atau sekira 2,11 persen dari total caleg yang terpilih dalam pemilu 5 April lalu. Secara matematis, masih ada sekira 97,89 persen caleg terpilih yang tidak bermasalah. Berhenti pada matematika agaknya tak ada yang menjadi persoalan. Namun, jika kita menakarnya dari perspektif moral, 359 caleg terpilih bermasalah itu sedikit banyak bakal merusak kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif. Ibarat peribahasa "gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga".

Bagaimana kita membaca temuan Panwaslu di atas? Apa sebab-musabab terjadinya "insiden moral" yang oleh politisi kebanyakan mulai dianggap jamak itu? Moralitas seperti apa yang melandasi proses pencalegan seorang politisi kita? Dan, moralitas seperti apa yang akan dikedepankan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota yang meluluskan mereka sebagai calon anggota legislatif?

UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 60 tegas-tegas menyatakan, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi sebelas syarat. Di antaranya menyebutkan berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat; tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten.

Selanjutnya Pasal 63 menyebutkan, "Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat, a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon."

Pada Pasal 64 dicantumkan syarat bahwa, "Calon anggota DPD dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 63 huruf a, harus mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia".

Ditinjau dari spiritnya, UU Pemilu Legislatif sudah berupaya menutup peluang terjadinya insiden moral seperti yang terbongkor akhir-akhir ini. Tapi, rupanya banyak anggota masyarakat kita yang mengidap "sesat pikir", menggunakan segenap daya -- bahkan menghalalkan segala cara -- untuk lolos dari persyaratan yang ditetapkan undang-undang. Sebagian di antara mereka menganggap moralitas Niccolo Machevialli bukan suatu yang haram dalam politik praktis. Sebagian lagi terkungkung oleh sebuah hasrat purba "milik" Freidrich Nitzsche, "serakah kuasa" -- lebih tepatnya serakah kekuasaan.

Yang lain, terpedaya untuk menduplikasi pemikiran Thomas Hobbes bahwa, "Manusia ialah serigala bagi sesamanya", karena itu dibutuhkan "leviathan" yang memaksa orang lain tunduk pada kehendaknya. Sebagian kecil saja yang menggunakan moralitas Immanuel Kant yang mengajarkan bahwa kewajiban sebagai dasar tindakan moral. Kata filsuf Jerman abad ke-18 ini, satu-satunya hal baik tanpa kualifikasi atau pengecualian adalah "kehendak baik" (Guter Wille). Kehendak baiklah yang seharusnya melandasi laku moral seseorang, termasuk ketika berkecimpung di dunia politik praktis. Dalam sebuah masyarakat di mana politik acapkali dipahami sebagai "kotor", para politikus dituntut membelokkan pandangan tersebut lewat tindakan nyata.

Kelewat banyak contoh laku moral seperti yang diabstraksikan para filsuf tersebut. Di masa-masa awal pencalonan sudah sering kita dengar banyak warga masyarakat yang memalsukan ijazah, memalsukan KTP dan identitas lainnya serta tidak keluar dari PNS, TNI, dan Polri kendati pun tetap memaksakan diri untuk mendaftar. Andai saja Panwaslu memiliki data awal para petualang yang coba mengakali persyaratan undang-undang di masa pendaftaran dan dihadapkan dengan data yang terkumpul saat ini akan terkuak lebih jauh siapa Machevialllian, siapa Nitzschean, dan siapa Hobbesian di antara 359 caleg terpilih yang bermasalah itu.

Saya seperti mimpi membaca seorang caleg terpilih, tapi bermasalah dengan jumawa berujar,"... Saya, Ketua Pimpinan Daerah Partai Golkar, tersangka kasus penyelewengan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Alhamdulillah, terpilih kembali sebagai anggota DPRD Kota Cirebon periode 2004-2009", tatkala dilantik 11 Agustus lalu (Tempo, 16-22 Agustus 2004). Padahal, dua hari sebelumnya, ia masih terpekur di kursi Pengadilan Negeri Cirebon sebagai terdakwa.

Kepada tersangka UU Pemilu memang memberikan toleransi yang lapang. Sebelum vonis yang berkekuatan hukum tetap seseorang berhak menyandang jabatan setinggi anggota dewan. Bahkan, seorang terpidana yang dihukum kurungan kurang dari lima tahun tak menggugurkan seorang yang terpilih menjadi anggota dewan. Namun andai saja moral yang berbicara, "Apakah mungkin aib tidak dirasakan sebagai malu".

Seorang anggota dewan adalah wakil dari puluhan, bahkan ratusan ribu rakyat. Ketika seorang terantuk kasus semacam korupsi, ia sebetulnya tak memiliki keabsahan moral untuk duduk sebagai wakil rakyat. Seorang anggota dewan mesti jadi teladan bagi rakyat, jujur, amanah, memiliki kredibilitas dan integritas tinggi. Andaikan hukum positif harus dijunjung tinggi, menarik diri dari tugas jauh lebih baik, sambil menunggu vonis berkekuatan hukum tetap. Kebersihan diri harus menjadi perhatian setiap caleg terpilih agar tingkat kepercayaan rakyat terhadap dirinya tidak luntur.

Lolosnya para petualang menjadi caleg terkait juga dengan kinerja penyelenggara pemilu, yakni KPU dan KPU di masing-masing tingkatan yang memverifikasi dan mengesahkan mereka menjadi caleg dan calon anggota DPD. Sebuah undang-undang hanya "macan kertas" ketika para eksekutor produk hukum itu tidak menjalankan secara konsisten bunyi dan substansi yang termaktub di dalamnya. Dalam satu tahapan pemilu, ada petunjuk KPU di daerah-daerah terpaku dengan bunyi undang-undang, dan mengabaikan substansi (alasannya tak punya "otorisasi" menafsir). Pada tahapan yang lain, KPU menabrak klaim tersebut dengan menafsirkan undang-undang, dan bahkan "menghunus pedang" yang mematikan hak politik seseorang untuk menjadi capres.

Tetapi harus diakui, sungguh pekerjaan sulit untuk sempurna dalam sebuah situasi yang jauh dari sempurna. Pasal 63 huruf a (syarat domisili) misalnya mampu disiasati oleh para pendaftar calon anggota DPD hanya dengan selembar KTP asal sebuah kabupaten di provinsi tertentu. Di provinsi Jawa Barat ada seorang calon anggota DPD yang berhasil lolos karena KPU setempat berpegangan soal domisili menurut yang tertera dalam KTP calon bersangkutan. Sebaliknya, seorang mantan anggota MPR asal Nanggroe Aceh Darussalam yang telah lama bermukim di Jakarta, tak diloloskan KPU provinsi itu biar pun mampu memperlihatkan KTP yang menginformasikan ia ber-KTP kabupaten tertentu di provinsi yang sama.

Sekarang nasi sudah jadi bubur. KPU dituntut bersikap tegas atas insiden yang menampar wajah lembaga penyelenggara pemilu itu. Kiranya belum cukup dengan mengimbau agar para caleg terpilih yang bermasalah mengundurkan diri sebelum dilantik. Ketika ditemui wartawan, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin berkata, "Seorang anggota legislatif yang dicopot karena kasus ijazah, misalnya, akan menanggung malu. Rasa malu saat menjadi calon tidak sebanding dengan ketika telah dilantik. Itu seperti jatuh dari pohon yang lebih tinggi" (Sinar Harapan, 19/8).

Hemat saya, kapasitas KPU jauh lebih tinggi dari sekadar mengimbau. KPU memiliki wewenang untuk mengambil sikap tegas, bahkan membatalkan para caleg bermasalah yang terbukti cacat moral, menggunakan cara-cara tak perpuji yang melanggar hukum positif dan asas kepatutan. KPU mesti bersikap jantan dan tak malu mengakui kekurangan mereka. Apabila tidak bisa mencegah insiden moral itu, pilihannya tinggal "memukulkan" godam ke setiap caleg terpilih yang bermasalah tersebut.

Ikhtiar yang dilakukan KPU Kota Cimahi kiranya bisa dijadikan contoh. Walaupun vonis terhadap seorang caleg terpilih belum keluar, KPU Kota Cimahi mengambil sikap tegas terhadap Akhmad Jaoji, salah seorang calon anggota terpilih DPRD Kota Cimahi periode 2004-2009. Akhmad Jaoji tidak diikutsertakan dalam peresmian dan pengambilan sumpah janji DPRD Kota Cimahi pada 23 Agustus 2004. Itu sebagai buntut penahanan terhadap Akhmad Jaoji oleh Kejaksaan Negeri Bale Bandung dalam kasus dugaan penggunaan ijazah palsu SLTP saat mencalonkan jadi legislatif.

"Sebelum ada putusan hukum yang tetap, kami sepakat dalam rapat pleno tadi siang, tidak akan meminta yang bersangkutan melalui parpolnya untuk diikutsertakan dalam acara peresmian dan sumpah janji DPRD Kota Cimahi", ujar Ketua KPU Kota Cimahi Drs. Ikin Sodikin (Pikiran Rakyat, 19/8).

Hemat saya ini "preseden" baik yang bersambungan dengan nalar publik yang menginginkan tampilnya orang-orang berintegritas di politik parlemen, pusat dan daerah. Terobosan seperti ini layak diacungi jempol, sebab tak banyak KPU-KPU di daerah yang memiliki keberanian dan ketegaran moral. Dalam situasi yang mendesak, inisiatif selalu diperlukan untuk menjebol kebuntuan. Itulah sikap yang akan menyelamatkan moral di hadapan politik praktis yang sering abu-abu. [Pikiran Rakyat, 24 Agustus 2004]

No comments: