Sunday, June 17, 2007

Seberapa Jauh Jarak Sunni & Syiah?

Oleh Moh Samsul Arifin

Judul: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!, Mungkinkah?
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati, Jakarta, April 2007
Tebal: xi + 303 halaman
---
Konflik horizontal Sunni dan Syiah di Irak saat ini sangat disesalkan umat Islam. Di sana sesama Muslim saling menumpahkan darah dan tak ada kepastian kapan hal itu akan berakhir. Sudah pasti konflik demikian menyisakan getir, sekaligus trauma di kalangan Sunni dan Syiah. Pasalnya, tarikh Islam pernah mencatat bagaimana traumanya Umat Islam jika mengingat Tragedi Karbala (865 M), sebuah momen yang menghadap-hadapkan Imam al-Husain (imam di mata Syiah) dengan pasukan Umayyah (representasi Sunni), dengan korban di pihak al-Husain.

Paling tidak dua perspektif dapat dikemukakan sehubungan konflik di Irak. Pertama, perseteruan dua kelompok Muslim di negeri seribu satu malam itu tidak terputus dari akar konflik dua mazhab Islam terkemuka ini di masa lampau. Dan kedua, kendatipun label Sunni dan Syiah nangkring sebagai identitas pihak-pihak bertikai, konflik tersebut manifes semata-mata karena kepentingan kelompok dan suku-suku di sana pascakejatuhan Saddam Hussein akibat invasi Amerika Serikat dan sekutunya.

Yang pasti konflik Sunni dan Syiah di Irak menjadi alasan pasukan Amerika belum angkat kaki dari sana. Paling mutakhir, Pemerintahan George Walker Bush dapat menggagalkan upaya Partai Demokrat yang menginginkan tentara AS segera meninggalkan Irak. Itu berarti hingga akhir pemerintahan Bush, kemungkinan besar pasukan AS terus “mengawal” perdamaian Irak atau bahkan “mengeruhkan” suasana konflik di sana sebagaimana dicibir sementara kalangan.

Dalam sejarah, konflik Sunni dan Syiah berhulu dari pertemuan Saqifah Bani Saidah. Di situlah, babak baru pemerintahan Islam atau pemilihan khalifah (pengganti Nabi Muhammad SAW) bermula. Saat itu majoritas sahabat Nabi menilai perlunya kepemimpinan baru pascawafatnya Muhammad SAW. Mereka beranggapan tidak boleh ada “vacuum of power” untuk menjaga keimanan dan persatuan umat yang ditinggalkan Sang Nabi.

Akhirnya dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah, tanpa mengikut sertakan keluarga nabi yang kala itu lagi berduka akibat kepergian Muhammad SAW. Inisiatif menentukan khalifah pasca-Nabi ini melahirkan empat model pemilihan. Abu Bakar terpilih berkat musyawarah dan bait; Umar bin Khaththab ditunjuk; Utsman bin Affan diangkat oleh Tim yang ditunjuk Umar; dan Ali bin Abi Thalib terpilih setelah muncul desakan dari umat (hal. 220). Kalangan Sunni percaya seorang pemimpin dapat diangkat dari musyawarah di kalangan umat. Siapapun dapat menjadi khalifah asal memenuhi kriteria tertentu. Artinya, kepemimpinan tak melekat pada hubungan darah (nasab atau genealogi).

Sebaliknya bagi kalangan Syiah, kepemimpinan (imamah) adalah hal yang transendental. Pemimpin umat sudah ditetapkan Allah lewat Muhammad SAW dan diteruskan oleh 12 imam yang bermula dari Ali bin Abi Thalib hingga imam ke-12 (Al Mahdi alias Abu al-Qasim Muhammad bin al-Hasan) yang dipercaya bakal hadir kembali ke bumi setelah menghilang. Syiah percaya bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Imam sesudah Rasul dan imamah tidak keluar dari Ali dan keturunannya.

Di mata penganut Syiah, para imam ini adalah ma’shum alias terpelihara dari dosa dan kesalahan. Mereka paling mengetahui kandungan makna Al-quran. Inilah yang menjadi inti dari Syiah Imamah atau al-Itsna Asyariyah, bagian majoritas dalam mazhab Syiah. Mengenai hal ini diperinci Quraish Shihab pada bab “asal-usul dan kelompok-kelompok dalam Syiah” (hal. 63-83).

Pada konteks lokal Iran, konsep imamah ini diterjemahkan Imam Khomeini dalam konsep yang disebut Wilayat Faqih. Menurut pemimpin revolusi Iran 1979 itu, sembari menunggu munculnya imam ke-12, tetap diperlukan pemimpin yang mengemudikan pemerintahan Islam. Seorang pemimpin itu hendaklah memenuhi kriteria memiliki pengetahuan hukum yang luas dan adil serta memiliki integritas (‘adalah) yang kuat. Syiah dan Sunni bersepakat bahwa pemimpin itu hendaklah orang yang berkapasitas Ulil Amri. Yakni orang-orang yang dipercaya masyarakat menyangkut urusan agama dan kepentingan dunia sebagaimana disinggung Muhammad Rasyid Ridha (hal 224-225).

Soal imamah, seperti diakui ulama Syiah terkemuka—Muhammad al-Husain al Kasyif al-Ghitha’—tak urung menjadi perbedaan utama antara Syiah dan kelompok-kelompok umat yang lain. Menurut Al Ghitha, imamah merupakan perbedaan prinsipil, sedangkan perbedaan-perbedaan lainnya tidak prinsipil, setara dengan perbedaan yang terjadi antara para imam yang berijtihad seperti Hanafi, Syafi’i, Hambali atau Maliki dalam tradisi Sunni.

Tapi, dalam buku “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!” ini, M. Quraish Shihab tak mempertebal perbedaan pandangan antara dua mazhab ihwal imamah tersebut. Ahli Tafsir par excellence ini membabarkan dengan sangat lengkap ihwal perbedaan dan persamaan Sunni-Syiah. Bukan hanya soal konsep pemerintahan setelah khulafa ar-rasyidin (empat khalifah pertama), tapi juga hal ihwal menyangkut pengelompokan dalam Umat Islam, asal-usul Syiah dan pengelompokan dalam mazhab tersebut, rukun Iman dan rukun Islam yang dipercaya kalangan Sunni dan Syiah, sikap kalangan Syiah dan Sunni terhadap para sahabat Nabi Muhammad SAW, hingga soal rincian-rincian ajaran agama (furu’).

Penjelasan rinci bagaimana Sunni dan Syiah menyikapi dan mengambil posisi tentang satu topik diikat oleh satu keinginan melihat para penganut kedua mazhab ini bergandengan tangan membentuk peradaban yang lebih baik. Di awal pembahasannya, Quraish sudah mewanti-wanti para pembaca buku ini. Katanya, “perbedaan pendapat merupakan salah satu fenomena yang telah ada sejak terbentuknya komunitas manusia, sekecil apapun komunitas itu. Perbedaan tersebut dapat meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan keyakinan” (hal. 27).

Membuka lembar demi lembar buku ini, pembaca akan menyaksikan bagaimana posisi Quraish Shihab dalam topik-topik yang dibahasnya. Quraish tidak terjatuh untuk membela Sunni atau Syiah sebagaimana dilakukan sejumlah penulis yang terkurung dalam trauma sejarah. Di buku ini tertuang aneka pendapat, tapi Quraish menghidangkan pendapat-pendapat itu apa adanya. Di kali lain Quraish mengomentari pendapat-pendapat tersebut atau bahkan mengkritisinya.

Ia menyusuri kitab-kitab Sunni dan Syiah tanpa terperosok untuk memberi porsi penjelasan yang tak seimbang. Disebutnya Syaikh Abdul Halim Mahmud (bekas pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir), Muhammad Abdul Azhim az-Zarqany (guru besar Universitas Al Azhar Mesir), atau Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (ulama Sunni) atau sejumlah ulama terkemuka Syiah seperti Muhammad al-Husain al Kasyif al-Githa’, Abdulhusain Syarafuddin al-Musawy, Hasan ath-Tharimy hingga Imam Khomeini sebagai sumber rujukan mendedah dua mazhab tadi.

Lantas, apa jawaban Quraish atas keinginan banyak kalangan agar penganut Sunni dan Syiah bergandengan tangan. Dia berseru, “Dapat! Kalau kita mau”. Menurutnya, penyatuan mazhab-mazhab dalam Islam memang mustahil. Namun, yang paling mungkin adalah mengumandangkan persatuan umat, dalam arti membiarkan mazhab-mazhab yang ada tumbuh berkembang seraya berikhtiar membangun kerjasama menuju kejayaan Islam.

Secara lebih praktis, Quraish merujuk hasil Muktamar Doha (20-22 Januari 2007). Kini, bukan waktunya lagi bagi kalangan Sunni dan Syiah—seperti terjadi di Irak—saling menumpahkan darah. Sebaliknya, dialog antarmazhab menekankan haramnya pertumpahan darah, merampas harta atau menciderai kehormatan Muslim. Lebih dari itu, para penganut Sunni dan Syiah dituntut bersatu menghadapi aneka tantangan yang dihdapi umat serta melanjutkan usaha-usaha pendekatan antarmazhab dan menyingkirkan rintangan-rintangan yang timbul.

Quraish menyebut kemungkinan dua mazhab bergandengan tangan bukan isapan jempol. Sebab jejak sejarah menunjukkan para ulama Islam pernah melakukannya. Dalam literatur Sunni dikemukakan bahwa Imam Abu Hanifah berhubungan erat dengan Imam Ja’far as-Shadiq (imam ke-6 Syiah) dan sering berdiskusi. Demikian pula Imam Syafi’i menjaga silaturahmi dengan Nafisah (putri al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Atau Imam Hambali dengan Imam Zain bin Ali (imam Syiah) dan banyak lagi lainnya. [Mei 2007]

No comments: