Friday, May 25, 2007

Bercermin Kepada yang Papa

Oleh Moh Samsul Arifin

---
Judul: Manusia & Pengharapan, Segelas Beras untuk Berdua
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2006
---

SEDIKIT sekali tokoh di tanah air yang menggenggam sejumlah kemampuan dengan sama baiknya seperti Gabriel Possenti Sindhunata, SJ atau karib dipanggil Sindhunata. Pada dirinya terkumpul kemampuan seorang rohaniawan, sastrawan, filosof sekaligus jurnalis. Novel laris-manisnya, "Anak Bajang Menggiring Angin" merupakan karya sastra yang memukau.

Di tangan jebolan Seminarium Marianum, Lawang, Malang ini epos Ramayana dapat dicerna tanpa harus berkerut. Ditaburkannya nilai-nilai kemanusiaan lewat tokoh yang bukan manusia, Anoman, kera putih sakti. Kontras dengan Rahwana, makhluk dengan wadah manusia, tapi berkelakuan seperti binatang (disimbolkan sebagai manusia dengan sepuluh kepala yang tamak).

Selain novel yang dapat dikatakan merupakan puncak pencapaian Sindhunata di bidang sastra, banyak lagi buku dengan aneka topik ditulisnya. Dalam lima buku terbarunya, "Manusia & Keadilan, Ekonomi Kerbau Bingung", "Manusia & Kebatinan, Petruk Jadi Guru", "Manusia & Pengharapan, Segelas Beras untuk Berdua", "Manusia & Keseharian, Burung-burung di Bundaran HI" dan "Manusia & Perjalanan, Dari Pulau Buru ke Venezia"—boleh disebut pentalogi—Sindhunata terlibat secara konkret, intim, jeluk dan detail dengan manusia dan kehidupannya.

Itu dapat dilakukannya karena saat itu dia menjadi jurnalis ibukota yang terjun langsung melakukan reportase ke selaksa lokasi dan sosok. Dari Banyuwangi, Bantul, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Calcutta hingga
Venezia, Sindhunata merekam pengalaman perjalanannya dan muhibah kemanusiaan bak seorang "nabi" di abad modern yang kian dinaungi nilai-nilai materialisme, individualisme hingga konsumerisme.

Di antara lima buku baru itu, "Manusia & Pengharapan, Segelas Beras untuk Berdua" sangat relevan dengan persoalan dan konteks ke-kini-an masyarakat dan bangsa Indonesia. Semua orang mafhum hingga hampir satu dasawarsa reformasi, problem kemiskinan dan kesengsaraan masih tak terselesaikan.

Badan Pusat Statistik pada September 2006 lalu melansir, jumlah penduduk miskin masih 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Jangan tanya, bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat. Di
sejumlah daerah, masyarakat terpaksa mengonsumsi nasi aking, gaplek, hingga beras berkutu seiring mahalnya harga beras sejak November 2006. Harga beras masih bertengger di kisaran Rp 5.000 keatas dan sulit ditebus dengan kocek rakyat kecil.

Kemiskinan yang melilit itu berhubungan dengan tingkat kesehatan warga. Tengoklah data mencengangkan ini. Pada Januari sampai November 2005, terdapat 71.815 balita menderita gizi buruk di Indonesia. Setahun
kemudian, kondisi kesehatan bayi di Nusa Tenggara Timur lebih buruk dari keadaan rerata tanah air tahun 2005. Bayangkan saja, pada Maret 2006, Dinas Kesehatan Provinsi NTT mencatat angka balita yang kurang gizi mencapai 86.275 jiwa, 13.251 balita (gizi buruk), dan 523 balita (busung lapar). Jumlah meninggal mendekati ratusan.

Apa yang dialami rakyat kecil akhir-akhir ini sudah terwakili dari rekaman reportase Sindhunata periode 1978-2004.Tengoklah "Mbah Setro, Segelas Beras untuk Berdua". Dalam feature itu, Sindhunata menceritakan bagaimana Mbah Setro, penjual arang menyiasati hidup yang sulit. Kira-kira tahun 2004-an, Mbah Setro masih menjual arang. "Profesi" yang digumulinya sejak zaman Belanda. Dan sejak itu pula, Mbah Setro menyunggi keranjang berisi arang diatas kepalanya dengan menempuh jalan berkilo-kilometer untuk sampai ke pasar, di daerah Patang Puluhan dan Karangkajen, Yogyakarta.

Besarkah penghasilan Mbah Setro yang buta huruf ini? Sungguh sangat minum! Jika setiap hari, dia menyunggi dua ikat arang dalam keranjangnya, Mbah Setro dapat mengumpulkan duit Rp 12.000 sampai Rp 15.000. Namun, keuntungan yang didapat hanya Rp 2.000 sampai Rp 5.000. Dapatkah penghasilan itu digunakan untuk membeli sekilo beras tahun ini?

Jelas tidak. Tapi, penghasilan tersebut di waktu itu (2004) juga tak bisa digunakan untuk menebus kebutuhan pokok Mbah Setro. Untuk menyiasatinya terpaksa Setro "berpuasa", hanya menyeruput the panas di waktu subuh jelang berangkat ke pasar dengan arang di pundak. Sang istri, Khatijah, mencukupkan hidup mereka dengan segelas beras sebagai makanan utama pasangan ini. "Untuk kami berdua, segelas beras sudah cukup," tutur Khatijah, yang sehari-hari membantu Setro mengumpulkan dan menjual lima ikat daun jati seharga Rp 700-Rp 800 (hal. 149-152).

Setro dan Khatijah melawan kemiskinan dengan hidup secukupnya, persis dialami jutaan rakyat saat ini yang berjibaku dengan kemiskinan yang selalu intim dengan hidup mereka. Sosok Setro menggambarkan betapa ekonomi subsisten masih menjadi "bahasa" ekonomi rakyat. Tapi filsafat hidup secukupnya ini mirip laku seorang asketik yang rendah hati dan bersahaja. Atau bahkan menyerupai Nabi Muhammad SAW kala mengajarkan "Makanlah secukupnya. Berhentilah makan sebelum kenyang".

Filsafat hidup secukupnya ini bukan hanya milik Mbah Setro. Namun juga Ki Guntur Songgolangit, seorang seniman Yogyakarta. Tokoh ini menyerukan kepada khalayak untuk menyatukan lidi agar bisa menjadi sapu yang dapat membersihkan hati dan lalu menerbitkan kesatuan. Ki Guntur mengajak hidup samadya (secukupnya) saja, dan bukan ngaya dan ngangsa (melangkah berlebih-lebihan) seperti dilakukan elit politik. Dengan hidup samadya, rakyat lebih bisa melawan krisis, sebaliknya karena ngaya dan ngangsa elit politik tercebut menjadi mudah goyah dan hidupnya tak tenang (hal 180-181).

Sosok rakyat kecil semacam Mbah Setro ini menjejali pikiran dan pengalaman Sindhu. Mbok Tukinem, Pak Riadi, Pak Gacuk, Suwardi, Pak Sa'i, Pak Umang, Ateng atau Pak Imu adalah sosok rakyat kecil yang tak mungkin menjadi berita semasa Orde Baru. Mereka tergusur dari panggung berita, gagal bersaing dengan riak-gemuruh pembangunan dan hasil pembangunan yang dipancang Soeharto antara 1966-1998.

Mengapa Sindhu memilih medium feature? Lewat medium itulah, Sindhu bisa membuat artikel kreatif, kadang-kadang subjektif, untuk membawa pembaca seakan "menyaksikan" sendiri kisah pergulatan hidup rakyat kecil. Berkat Sindhu, para pembaca tak segan untuk berderma kepada sosok rakyat kecil yang diceritakannya di harian Kompas itu.

Seluruh feature dalam salah satu pentalogi ini menunjukkan bahwa Sindhu benar-benar jurnalis berkeringat yang turun ke lapangan memotret kenyataan hidup di tengah masyarakat. Pentalogi Sindhunata ini tak hanya mengangkat kemanusiaan di tempat yang mulia—sebagaimana Pemimpin Redaksi Basis ini biasa menulis—tapi juga menjadi khazanah berharga setiap jurnalis Indonesia yang ingin menulis secara bermakna. [Maret 2007]

*) Pecinta buku. Staf libtang di sebuah stasiun televisi swasta.

No comments: