Thursday, May 10, 2007

Menakar Pemangkasan Proses Pilkada

Oleh Moh Samsul Arifin

ADA dua arus tengah beradu punggung di layar publik akhir-akhir ini. Pertama, pemerintah (lewat Departemen Dalam Negeri) berencana bakal memangkas proses persiapan pilkadaKPUD di sejumlah daerah di Tanah Air. langsung menjadi hanya tiga bulan. Rencana itu disambut dingin oleh beberapa

Kedua, saat sejumlah LSM dan KPU provinsi mengajukan judicial review (uji materi) atas beberapa pasal Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 6/2005 tentang Pilkada. Ini membuat kegelisahan sebab KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak pilkada terbentur dualisme jika bukan dilema hukum.

Mereka mengalami dilema: antara merujuk proses persiapan pilkada dan UU No 32/2004 dan PP No 6/2005 atau menunggu keputusan uji materi itu usai.

DALAM tradisi demokrasi kita pasca-amandemen UUD 1945, proses uji materi bukanlah suatu yang tabu. Selama proses itu tak ada keharusan bagi pemerintah untuk menunda menerbitkan produk hukum semacam PP yang kedudukannya di bawah UU. Yang jadi persoalan adalah jika penerbitan PP Pilkada dimaksudkan untuk "memengaruhi" keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini akan membawa banyak konsekuensi bagi kehidupan demokrasi kita.

Bagaimanapun juga keputusan MK bersifat final dan mengikat. MK sebagai negative legislator sejauh ini terjaga independensinya dari kepentingan pemerintah. Terakhir lembaga itu, Selasa (15/2), menolak permohonan uji materi atas UU KPK yang diajukan Bram HD Manoppo, rekanan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam kasus korupsi pengadaan helikopter untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD. Seandainya MK mau menerima uji materi itu, PP No 6/2005 tentu harus batal demi hukum. Jika ini terjadi, persiapan pilkada di sejumlah daerah harus dirancang ulang. Akan amat mungkin waktu 3-6 bulan yang diamanatkan UU dan dikehendaki Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tidak cukup lagi.

Seperti dimaklumi, UU No 32/2004 menyatakan pesta demokrasi di tingkat lokal memerlukan persiapan sedikitnya enam bulan (180 hari). Masa persiapan terdiri atas lima tahap, yaitu pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah.

Lalu dilanjutkan tahap perencanaan penyelenggaraan, pembentukan panitia pengawas (panwas), PPK, PPS dan KPPS, pemberitahuan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD. Sementara, untuk tahap pelaksanaan terdiri atas persiapan pelaksanaan kampanye, kampanye, persiapan pelaksanaan pemungutan suara, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Sebelumnya dilakukan pengusulan pasangan calon dan penetapan pasangan calon terpilih. Selanjutnya pengesahan, pelantikan, dan mungkin ada masalah atau sengketa. Dengan banyaknya tahap-tahap itu apakah pemangkasan persiapan pilkada langsung realistis?

Pertama, pilkada langsung bagaimanapun harus dianggap sebagai sesuatu yang baru sama sekali. Adalah benar KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sudah berpengalaman menyelenggarakan pilpres dan pemilu legislatif. Namun, area persoalan pilkada langsung sekali pun jauh lebih sempit, mesti dipandang sebagai hal baru. Harus diingat pilkada langsung tidak sama dengan pemilihan kepala desa atau pilpres. Apalagi kini payung hukum pilkada langsung masih bermasalah, sebagai turunan dari UU No 32/2004.

Kedua, karena proses pilkada langsung tak semata-mata bersifat teknis, perhelatan itu perlu dilakukan penuh kehati-hatian. Jika pilkada langsung dipaksakan harus dipercepat, bukan kerja-kerja teknis operasional saja yang kalang kabut, kualitas demokrasi yang dihasilkan pun akan buruk.

Padahal, pilkada langsung juga mengemban amanat partisipasi sebesar-besarnya massa di daerah. Proses seleksi terhadap calon kepala daerah oleh masyarakat juga butuh waktu. Dari sana diharapkan lahir para pemimpin yang berkualitas. Percepatan masa persiapan pilkadamenghiraukan ini semua. Bukan itu saja, ia berpeluang membatasi calon pemimpin berpartisipasi sehingga masyarakat terpaksa memilih calon-calon yang tak diharapkan. langsung

Ketiga, rencana Depdagri itu menggunakan logika yang melompat-lompat. Ini adalah usaha mengalihkan perhatian publik, untuk tak mengatakan excuse. Sebuah logika aneh jika PP terlambat tiga bulan, memberi alasan Depdagri untuk mempercepat proses pilkada tiga bulan lebih cepat. Kenyataan di lapangan harus menjadi referensi Depdagri, dan bukan arahan Presiden Yudhoyono.

Keempat, kini ada beda tafsir atas UU No 32/2004. Seperti terjadi di Lamongan, Jawa Timur. Masa jabatan Bupati Lamongan Masfuk berakhir Rabu (26/1). Pemprov Jawa Timur sebelumnya telah menyiapkan proses alih kuasa dari Masfuk kepada Sapari Ranuwijaya yang ditunjuk sebagai penjabat bupati. Penentuan penjabat bupati/wali kota ini didasarkan pada Surat Edaran Mendagri No 120305257, 24 November 2003, tentang Pengaturan Pejabat Kepala Daerah.

Mekanisme seperti ini pernah diberlakukan di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Masa jabatan Bupati Syaukani HR usai November 2004, dan diangkat Awang Dharma Bhakti sebagai penjabat bupati, dikukuhkan SK Mendagri No 131.44-767 Tanggal 9 Desember 2004. Namun itu ditolak DPRD setempat yang bersikukuh mempertahankan Syaukani sampai terpilih bupati definitif lewat pilkada langsung. Pro dan kontra tak terelakkan dan menyentuh akar rumput. Demonstrasi menolak SK Mendagri merebak di Kutai. Ini menunjukkan pilkada langsung amat rawan. Jika payung hukumnya dapat menerbitkan konflik, bagaimana dengan tahap-tahap lainnya?

KELIMA, ketidaksiapan itu tak hanya terkait masalah teknis dan sosialisasi, tetapi juga terkait dengan persoalan pembiayaan. Maklum penyelenggaraan pilkada langsung nanti bertumpu pada APBD dan APBN. Sejumlah KPUD telah mengajukan anggaran ke APBN. Namun, pemerintah paling banter hanya mengabulkan 20 persen dari total permintaan mereka. Padahal, biaya demokrasi termasuk tidak murah. Dengan memakai standar KPU Jawa Barat misalnya, dibutuhkan minimal Rp 10.000 untuk tiap pemilih. Jika provinsi itu tahun ini harus memilih gubernur dan wakil gubernur, dibutuhkan sedikitnya Rp 357,3 miliar untuk membiayai pilkada langsung.

Dalam kondisi demikian, lontaran Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin agar pemerintah memikirkan kemungkinan penundaan pilkada langsung hingga September 2005 masuk akal. Pemerintah tak perlu tergesa-gesa menyelenggarakan momen demokrasi di tingkat lokal jika semua peranti hukum, persiapan teknis, hingga pembiayaan belum tuntas. Pilkada langsung bukan "proyek ekonomi" seperti pembangunan pasar atau sekolah. PP Pilkada ini juga bertendensi memiliki kepentingan proyek setelah lampiran tentang pengadaan kartu pemilih pada pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Pengadaan kartu pemilih menjadi lampiran pertama, di mana kartu pemilih tiap daerah berbeda sesuai lambang kabupaten/kota masing-masing. Ini kemubaziran yang tidak perlu karena kartu pemilih pada pemilu lalu bisa digunakan lagi.

Soal penundaan pilkada langsung, menurut PP No 6/2005 memerlukan force majeur. Kita bisa menyiasatinya dengan menurunkan definisi keadaan darurat. Jika tidak, mekanisme Perpu (seperti dilakukan terhadap KPU dalam Pilpres tahun lalu) dapat diterapkan. [Kompas, 22 Februari 2005]

*) Aktivis Centre for Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta

No comments: