Sunday, May 27, 2007

HPP, Instrumen “Kosmetik” Petani

Oleh Moh Samsul Arifin

AKHIR Maret lalu, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Inpres 3/2007 tentang harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. HPP untuk gabah kering panen (GKP) menjadi Rp 2000 per kilogram, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575 per kilogram dan beras Rp 4.000 per kilogram atau rerata naik 17 persen dibandingkan HPP tahun lalu. Adakah perubahan HPP itu bermanfaat bagi petani di tanah air?

Data faktual di lapangan adalah jawaban sempurna bagaimana HPP bekerja. Para petani, termasuk petani di Karawang—yang notabene dekat Jakarta—kurang paham dengan instrumen pengganti harga dasar gabah dan beras tersebut. Bagi sementara petani, khususnya mereka yang tidak melek informasi, instrumen HPP diterima sebagai “makhluk baru”. Sebaliknya, yang dipahami petani sangat sederhana: apakah harga gabah yang diperoleh di sawah mereka di atas biaya produksi atau tidak. Atau apakah harga itu meningkatkan pendapatan mereka atau tidak.

Dalam konteks semacam ini, sangat wajar jika petani melepas gabah kepada tengkulak, pedagang atau spekulan yang “bermain” agresif dengan memburu gabah petani di sawah atau ladang-ladang dan menawarkan harga yang acapkali lebih tinggi ketimbang HPP. Di sini mekanisme pasar berlaku. Petani berpikir, daripada susah ke gudang Bulog, belum lagi harus mengeluarkan biaya transportasi, lebih baik menjual produk gabah ke tengkulak atau pedagang yang langsung terjun ke sawah. Transaksi dan tawar-menawar lebih equal, sebab kriteria yang ditetapkan tengkulak atau pedagang tidak rumit. Petani tak perlu mengkhawatirkan kriteria kadar air, butir hampa, butir kuning, butir hijau hingga butir merah gabah jika menjual produk mereka ke pihak-pihak di luar Bulog.

Harus diakui HPP bukanlah instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Tapi bias kepentingan untuk melindungi konsumen. Sama dengan kebijakan mencapai harga beras murah sehingga dapat dijangkau masyarakat perkotaan. Padahal, harga beras seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga memberi efek keuntungan kepada produsen beras, yakni petani.

HPP hanya digunakan sebagai patokan bagi Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk membeli gabah dan beras produksi petani. Pembelian gabah dan beras atas dasar HPP itu pun tidak serta-merta membuat Bulog langsung kontak dengan petani.

Selama ini, Bulog menggunakan kelompok tani dan koperasi sebagai mediator untuk menyerap gabah petani. Perlu diketahui, sedikit daerah yang sudah memiliki sistem intermediasi bagus, seperti di Karawang (Jabar), Sidrap (Sulsel), dan di NTT. Jadi, sebenarnya Bulog pasif: mereka lebih banyak membeli gabah atau beras di gudang-gudang mereka yang tersebar di Divisi Regional Bulog yang tersebar di seantero Nusantara.

“Kebijakan menunggu” di gudang itulah yang membikin tingkat penyerapan gabah dan beras Bulog sangat minim. Lumrah jika selama ini Bulog hanya mampu menyerap tujuh persen produk gabah petani. Sejak tiga tahun terakhir, volume pengadaan gabah atau beras dalam negeri oleh Bulog selalu menurun. Tahun 2004 Bulog menyerap 2,096 juta ton setara beras. Tahun 2005 menurun hanya 1,529 juta ton, dan tahun 2006 menurun lagi hanya sebanyak 1,350 juta ton (Kompas, 24/3).

Tahun ini pun, Bulog hanya akan menyerap hasil panen sebanyak 1,5 juta ton setara beras. Atau minus 500 ribu ton dari target pemerintah. Angka ini pun jauh dari produksi petani gabah petani setara beras. Rendahnya daya serap Bulog tersebut, tak pelak menyebabkan stok milik Bulog minim dan membuat komoditas strategis tersebut mudah "hilang" sehingga harga acapkali berfluktuasi.

Lihatlah data ini. Bupati Indramayu Irianto Syafiuddin menyatakan, tahun lalu daya serap Bulog setempat hanya 12 persen dari produksi gabah kering panen (GKP) petani. Angka ini tak jauh berbeda dengan kondisi saat ini di Sulsel. Daya serap Bulog setempat cuma 10 persen dari total produksi petani di daerah tersebut. Selebihnya diserap pasar sebesar 90 persen untuk para pedagang (Bisnis Indonesia, 3/4).

Hingga 13 April 2007, Perum Bulog Divre Jawa Timur—salah satu sentra gabah di tanah air—lambat dalam menyerap gabah petani. Selama lima hari operasi, Bulog Jatim menyerap 8.900 ton GKP dan 12.200 ton beras. Sangat jauh dibandingkan dengan rencana pengadaan sebanyak 640.400 ton GKG atau setara 413.004 ton (Tempo Interaktif, 13/4). Alasannya, harga gabah yang berlaku di pasaran—ini harga yang ditawarkan pedagang dan tengkulak—diatas HPP yang ditetapkan pemerintah.

Namun, harga tak “seturut” HPP itu tak bekerja dalam satu kondisi saja. Kadang kala, petani memperoleh harga gabah di bawah HPP gara-gara pedagang atau tengkulak. Ini biasanya terjadi sebelum panen raya atau ketika pemerintah tak kunjung menetapkan HPP baru, seperti terjadi periode pra penetapan HPP 31 Maret lalu. Pedagang dan tengkulak menangguk keuntungan tersebut, baik mereka yang menjadi kepanjangan tangan Bulog (artinya menjual gabah atau beras ke perum ini) atau memiliki mata rantai penjualan hingga pasar-pasar beras seperti Cipinang, Jakarta.

Sekali lagi, mesti dikatakan, dalam sistem yang mengagungkan mekanisme pasar, petani tak memiliki daya tawar (bargaining) di hadapan pedagang, tengkulak atau bahkan spekulan tadi. Ingat para petani, termasuk di sentra-sentra padi semacam Karawang, Indramayu dan Cirebon, Lumajang hingga Sidrap (Sulsel) umumnya adalah petani gurem dengan tingkat kepemilikan sawah kurang dari 0,5 hektar. Dan mereka acapkali “dikejar” keperluan mendesak.

Bayangkan saja antara tiga sampai empat bulan (seturut usia padi), para petani itu harus menunggu panen. Selama itu petani harus mengeluarkan biaya produksi: dari menanam, merawat (pupuk dan racun) hingga masa panen. Di masa panen, petani berharap harga gabah atau padi berada di level yang menguntungkan mereka, paling kurang diatas biaya produksinya. Ironisnya, acapkali harga yang diperoleh petani jauh panggang dari api.

Jadi, jangan bayangkan petani bisa menahan produk mereka. Misalnya, karena harga masih di bawah level ekonomi yang menguntungkan, petani menjemur terlebih dulu produk padi atau gabahnya. Dan lalu menjual di waktu yang tepat ketika harga sudah lumayan bagus. Kebanyakan petani di tanah air tak mungkin melakukan itu. Mereka tak memiliki alat produksi dan biaya tambahan untuk menyiasati keadaan yang kurang menguntungkan.

Nalar dan siasat kreatif untuk menyiasati keadaan itu bukannya tak dimiliki kalangan petani. Namun karena terdesak kebutuhan, petani terpaksa menjual produknya sesuai dengan harga yang tersedia saat itu. Inilah ironi petani negeri kita yang berkubang dan intim dengan kemiskinan!

Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) punya temuan menarik. Menurut FPSI, mekanisme harga maksimal (ceiling price) yang diterapkan dalam Inpres 3/2007 kurang tepat. Merujuk dari praktik Bulog dan pasar domestik dalam tahun terakhir, pemerintah tak dapat melindungi pasar domestik dan membeli gabah langsung karena Inpres hanya membolehkan pembelian di bawah atau setara HPP. Seharusnya, pemerintah menetapkan harga dasar (floor price) untuk menutup ongkos produksi plus keuntungan petani. Sedangkan harga maksimal menjadi kontrol pemerintah terhadap pasar. Ide ini seturut dengan usulan sejumlah anggota DPR di Komisi Pertanian.

Agaknya, instrumen HPP yang tak bekerja efektif tidak berdiri sendiri. Ini berkaitan dengan fungsi Bulog itu sendiri. Seperti diketahui lewat PP 7/2003, Bulog berubah menjadi Perusahaan Umum. Inilah yang membuat Bulog harus mengejar rente alias menyetor pendapatan ke kas negara (Pasal 6 ayat 1). “Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan”.

Namun, fungsi ini pula yang membikin Bulog serba tanggung, di satu sisi bertugas mengamankan stok pangan nasional. Pasal 6 ayat 2 menyatakan Bulog “menyelenggarakan usaha logistik pangan pokok yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Di sisi lain diminta menghasilkan pundi-pundi bagi pemerintah. Kiranya cukup alasan bagi pemerintah untuk memikirkan agar Bulog dikembalikan ke fungsinya semula. Yakni menjadi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (Kepres 114/U/KEP/1967). Dengan kemudi itu, Bulog bisa menjamin stok pangan nasional sekaligus lebih menjamin kesejahteraan petani. [Pikiran Rakyat, 3 Mei 2007]

*) Staf Litbang di sebuah stasiun televisi swasta.

No comments: