Monday, May 28, 2007

Money Politics atau Financing Politics?

Oleh Moh Samsul Arifin

SUATU waktu, kira-kira pekan kedua Februari 2004, di Grha Pena Jakarta berkumpul sejumlah calon anggota legislatif (caleg). Mereka umumnya belia-muda secara usia dan 'belia' dalam hal pengalaman politik. Akan tetapi, mereka betul-betul muda dalam artian memiliki semangat pembaruan yang progresif. Teguh Santosa (Pelopor), Banyu Djarot (PNBK), Aditya Krisna Murti (PM), Awang (PBR), dan lain-lain tampak serius berdiskusi merumuskan apa yang tak boleh dilakukan seorang caleg terkait dengan money politics.

Bagi para caleg muda itu, haram hukumnya jikalau untuk memperoleh kursi legislatif, politisi bermain politik uang. Seseorang terindikasi money politics bila ia menggunakan uang sebagai alat paksa atau alat menarik simpati agar pihak lain (pemilih) mencoblosnya kala pemungutan suara. Asal-muasal uang yang digunakan juga menentukan apakah praktik politik yang dilakukan seorang politisi tergolong politik uang atau tidak.

Pemakaian dana publik (langsung atau tidak langsung) termasuk yang dikecam para caleg muda itu. Seorang caleg bisa mengakses dana ke staf atau menteri di departemen, tetapi jika dana itu berasal dari dana publik (bukan kantong pribadi staf/menteri) berarti sang caleg sudah membenarkan abuse of power jauh-jauh hari sebelum ia terpilih.

Memang pemakaian dana publik yang berasal dari departemen, BUMN, BUMD-seperti termaktub dalam Pasal 80 ayat 1c UU No 12 Tahun 2003-tidak diperbolehkan. Hanya saja ketentuan itu tidak memvonisnya sebagai praktik politik uang. Dalam pasal lain, yakni Pasal 78 Ayat 2 UU No12 Tahun 2003 disebutkan besar dana yang diperbolehkan adalah Rp 100 juta (perseorangan) dan Rp 750 juta (badan hukum swasta).

Penggalangan dana (fund raising) bisa saja terindikasi sebagai suap atau sogok bila uang yang disumbang oleh pihak luar itu bertendensi politis. Misalnya, seorang pengusaha mendonorkan sejumlah uangnya kepada kandidat DPR RI (caleg) agar ia diberi semacam lisensi atau kemudahan ekonomis ketika sang kandidat duduk di kursi DPR. Pengusaha itu sengaja menukar 'kekuasaan uang' yang dimiliki dengan 'kekuasaan politik' yang nanti bakal didapat sang kandidat kala menjabat. Karena jabatan legislatif merupakan amanat publik, praktik demikian dinilai menciderai moral.

Berbeda halnya, jikalau pengusaha tersebut menyumbangkan sejumlah uang kepada caleg tertentu karena mendukung visi dan program yang dicanangkan sang caleg. Dan si pengusaha menganggap hal itu sebagai bentuk partisipasi politik. Ketika nanti ia diuntungkan oleh kebijakan yang diperjuangkan anggota DPR yang dulu didukungnya, itu cuma implikasi positif dari kejernihan pengusaha tersebut dalam menetapkan pilihan kepada siapa ia akan menyumbangkan sebagian duitnya.

Tanpa transaksi politik antara sang pengusaha dengan caleg sumbangan tersebut tak dapat dikatakan sebagai bentuk suap atau sogok. Demikian pula si caleg yang menerima duit tersebut tak boleh disebut sudah berlaku licik atau bertindak amoral. Duit yang masuk ke kantong caleg dan kemudian digunakan selama proses politik menjadi legislator (DPR) itu termasuk pembiayaan politik (financing politics) yang absah.

Menulis Cek

Di Amerika Serikat yang relatif kaya, ujar Herbert E. Alexander (1980), banyak orang lebih suka menunjukkan dukungan mereka terhadap kandidat atau loyalitas mereka kepada partai tertentu dengan cara menulis sehelai cek daripada dengan cara mencurahkan waktu pada kampanye atau aktivitas politik. Uang telah memungkinkan warga negara di sana ambil bagian dalam sebuah energi yang menjadi persyaratan untuk dapat terjun ke dunia politik.

Politik dan uang adalah dua sisi dalam mata uang yang sama. Politik tanpa uang nyaris mustahil. Uang adalah sebuah medium atau alat yang sangat signifikan untuk menguasai energi dan sumberdaya. Ia dapat dipindahkan dan dipertukarkan (konvertibel) tanpa meninggalkan jejak tentang sumbernya. Ia dapat digunakan untuk membeli barang, juga energi, keterampilan dan jasa manusia.

Demikian pula berbagai sumber daya lain dapat ditukar dengan uang. Penggunaan secara cerdas ideologi, isu dan penghasilan atau janji-janji dukungan finansial akan mampu membangkitkan dukungan keuangan terhadap aktor-aktor politik-dalam bentuk yang sah atau dalam bentuk tidak sah dan tidak etis sebagaimana terjadi dalam skandal Watergate di AS.

Skandal itu mengubah sikap warga Amerika untuk lebih hati-hati dalam memberikan sumbangan-apalagi Undang-Undang Federal mempersyaratkan adanya keterbukaan atas setiap sumbangan terhadap kandidat presiden. Untuk mencegah agar para kandidat presiden tidak terikat pada kepentingan-kepentingan tertentu, batas maksimal sumbangan pun dikenakan. Dana-dana yang berasal dari sumber yang dicurigai atau industri-industri yang mendapatkan pengaturan secara ketat ikut pula dilarang. (Masih ingat ketika James Ryadi/Lippo Indonesia menyumbang sejumlah dana kepada Bill Clinton!).

Sejak tahun 1972-1976, sebanyak 49 negara bagian merivisi undang-undang mereka dalam kaitan uang politik. Negara-negara bagian di AS, menyediakan dirinya sebagai 'laboratorium pembaruan'. Tak mengherankan jika undang-undang revisi tersebut nantinya memiliki tiga bentuk dasar.

Pertama, keterbukaan publik (public disclosure) untuk memberikan informasi kepada publik-baik selama atau setelah kampenye presiden-tentang pengaruh uang terhadap pejabat-pejabat terpilih.

Kedua, pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits) untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pembengkakan biaya dan oleh adanya beberapa kandidat yang mempunyai lebih banyak uang dari yang lainnya.

Ketiga, pembatasan pemberian sumbangan (contributions restrictions) untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya kandidat yang mengikatkan diri pada kepentingan-kepentingan tertentu (Financing Politics, 2003:51).

Menonjol
Peran uang cukup menonjol, khususnya di masa-masa kampanye atau penggalangan massa. Politisi (caleg atau capres) yang memiliki helikopter pribadi jauh lebih leluasa daripada calon lain yang mesti keliling Indonesia dengan mencarter pesawat. Uang (telah dikonversi jadi helikopter) membuat kandidat itu leluasa bergerak cepat ke setiap titik sudut di mana ia perlu bertemu calon pemilih. Pendek kata, uang berpotensi mendekatkan kandidat dengan massa pemilih.

Bagi rakyat, uang yang diperoleh dari politisi (caleg atau capres) sangat berguna untuk membeli kebutuhan pokok yang kian membubung tinggi. Dalam belitan ekonomi yang menimpa mereka, rakyat tak mungkin berani menolak money politics yang disebar para politisi kotor atau busuk. Dalam konteks Indonesia, terjadinya politik uang tidak semata-mata karena politisi nir-moral, juga bersambungan dengan situasi psikolologis massa rakyat yang tertekan karena faktor ekonomi (miskin).

Hikayat sukses "uang" dapat disaksikan dari sejarah suksesi politik Amerika Serikat. Di sana uang kerap berhasil-walau bukan satu-satunya faktor-mengantar tokoh Partai Republik dan Partai Demokrat ke Gedung Putih.

Di tahun 1860 dan 1864, Abraham Lincoln (Republik) merontokkan Douglas dan McClellan (Demokrat) dengan perbedaan ongkos politik hingga dua kali lipat. Lincoln menghabiskan US$100 ribu dan US$125 ribu, sedangkan dua pesaingnya itu hanya mengeluarkan US$50 ribu.

Setidaknya hingga tahun 1976, guyuran dolar Partai Republik hampir selalu lebih besar daripada Partai Demokrat setiap kali penyelenggaraan pemilihan presiden. Dengan cara itulah Grant, Hayes, Garfield, Harrison, McKinley, Einsenhower hingga Nixon (Republik) melaju ke Gedung Putih. Dominasi Republik sesekali dipatahkan oleh Demokrat berkat kepiawaian Cleveland (1888 dan 1896), Wilson (1912-1920), F Rosevelt (1932-1948), Truman (1948), Kennedy (1960), Johnson (1964) dan Carter (1976).

Menjelang pemilu legislatif, diperkirakan praktik politik uang kian menggurita. Momen kampanye akan dimanfaatkan partai politik tertentu dengan membayar sejumlah orang agar hadir dalam kampaye partai atau kelompoknya. Sehari menjelang pemungutan suara, aktivis partai akan mendatangi rumah-rumah penduduk dan mengiming-imingi sejumlah uang dengan harapan mencoblos partai mereka.

Di hari pencoblosan, aktivis partai banyak berkeliaran di sekitar tempat pemungutan suara dengan menawarkan sejumlah uang untuk memelih partai atau caleg mereka. Tak ketinggalan para pejabat pemerintahan (camat, kepala desa, RW dan RT) akan jadi sasaran aktivis partai tertentu. Mereka akan dijanjikan jabatan atau posisi lebih tinggi jika mampu memobilisasi warganya memilih partai tertentu.

Pokok kata, money politics merupakan praktik liar yang memiliki aneka macam cara dan modus. Politisi busuk tak akan sungkan melakukannya. Semua pihak percaya, praktik tercela bakal jadi hantu di perhelatan Pemilu 2004. Untuk itulah KPU, sebagai penyelenggara pemilu, dituntut tegas dalam menindaklanjuti setiap temuan-terkait dengan politik uang-Panwaslu di setiap tingkatan. Pembatalan terhadap calon (caleg) yang terindikasi melakukan politik uang, seperti diatur Pasal 77 Ayat 3, jangan cuma macan kertas. Ketentuan itu mesti operasional dan berlaku efektif tanpa pandang bulu.

Panwaslu harus tegas dalam membedakan financing politics dan money politics. Sebab, ini berkaitan dengan persoalan etika, moral dan komitmen mematuhi aturan-aturan yang disepakati dalam mekanisme demokratis. Sikap para caleg muda yang dipelopori Teguh Santosa, dan kawan-kawan seperti disebutkan di awal, harus diapresiasi mengingat politik uang kerap diabaikan bangsa ini. [Suara Pembaruan, 15 Maret 2004]

*) Aktivis Center of Bureaucracy Studies Jakarta

No comments: