Thursday, May 17, 2007

Resolusi Iran dan Keterbelahan Politik

Oleh Moh Samsul Arifin

Keterbelahan politik terlihat telanjang saat usul interpelasi yang digalang Abdillah Toha disetujui rapat paripurna DPR, Selasa lalu (15/5). Tujuh fraksi menyetujui dan dua lainnya menolaknya. Apabila selama ini pengajuan hak interpelasi selalu mental di paripurna akibat “intervensi” setengah kamar pemerintah, interpelasi menyoal dukungan Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) terkait pengembangan nuklir Iran itu memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menjelaskan alasan pemerintah kepada DPR.

Penulis sebut keterbelahan politik sebab ikhtiar SBY dengan menempatkan kader partai politik di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 3, tak membuahkan dukungan politik di parlemen. Adalah rahasia umum, dalam perombakan kabinet pada 7 Mei lalu, SBY menempatkan dua orang baru dari parpol, yakni Andi Mattalata (Partai Golkar) dan Muhammad Lukman Edy (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai Menteri Hukum & HAM dan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Memang, SBY membuang sejumlah nama yang diklaim sebagai “wakil” sejumlah parpol seperti Yusril Ihza Mahendra (PBB), Abdul Rahman Saleh (PBB), Sugiharto (PPP), Saifullah Yusuf (PKB yang kemudian loncat ke PPP). Dalam pada itu. SBY tetap mempertahankan kawan koalisinya dari PAN dengan menggeser Menhub Hatta Rajasa ke posisi Mensesneg. Tapi, upaya itu tak lagi sakti dalam meredam hak interpelasi resolusi Iran 1747. Bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) kali ini tampil sebagai “leader yang menggiring enam fraksi seperti F-PG, F-PDIP, F-PPP, FKB, FBD (Bintang Pelopor Demokrasi (BPD) serta F-PKS menyetujui hak interpelasi.

Fenomena ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, politik akomodasi SBY tidak diikat dengan koalisi permanen. PPP, PKB, PAN serta PKS bisa berseberangan dengan sikap pemerintah sekalipun mereka menempatkan kadernya di kabinet. PKS termasuk parpol yang mengantar SBY-JK ke Istana Negara misalnya, tidak dalam posisi—atau menempatkan diri—untuk selalu membela keputusan dan kebijakan pemerintah.

Dukungan PAN terhadap hak interpelasi mengisyaratkan bahwa politik partai matahari terbit ini lebih mementingkan substansi persoalan ketimbang tanpa reserve mendukung pemerintah. Apalagi sebagai partai yang memiliki konstituen luas Muslim moderat di perkotaan, PAN dipaksa memuaskan aspirasi konstituennya yang terbilang kritis terhadap setiap produk kebijakan internasional yang disetir Amerika Serikat.

Isu resolusi Iran digunakan PAN untuk menaikkan kepercayaan konstituen tradisional dan masyarakat Muslim. Misi ini tentu saja bukan khas PAN, karena dalam batas tertentu PPP, PKB, PKS dan PBB (yang tergabung dalam F-PBD) juga memiliki kepentingan sama. Bagaimanapun Iran kini telah menjadi semacam “suara lain” yang mewakili kepentingan dunia Islam, kendatipun secara teologi negeri Mullah itu menganut mazhab Syiah. Suatu mazhab yang terbilang mayoritas di kalangan Muslim Indonesia, termasuk bagi konstituen PKS yang “dekat” dengan politik Ikhwanul Muslimin.


Kedua, kawan koalisi SBY mulai memutuskan hubungan. Saya menyaksikan ini dalam kasus terpentalnya Yusril Ihza Mahendra dari Mensesneg. Padahal Yusril adalah kawan pertama SBY dalam usahanya merebut posisi RI-1. Sejak awal Yusril mendorong Partai Bulan Bintang mencalonkan SBY bersama PKP Indonesia dan Partai Demokrat. Yusril yang terpojok akibat pencairan duit Tommy Soeharto di PNB Paribas dan kasus pemindai sidik jari di Depkumham, terpaksa dicoret SBY dari skuad.

Sekalipun SBY mempertahankan wakil PBB lainnya, yakni MS Kaban (Menhut), upaya ini tak mampu membendung gerakan putus hubungan dari unsur-unsur penting di PKB. Ini bisa dipahami mengingat Yusril adalah soko guru PBB yang kini segera berganti nama menjadi Partai Bintang Bulan. Upaya putus hubungan ini bahkan mungkin dilakukan PBB dengan menarik Kaban dari kabinet seperti ramai diberitakan akhir-akhir.

Sangat boleh jadi, kawan politik SBY (dan juga JK) akan berkurang jika PKS kian mengambil jarak. Selain secara substansial, PKS perlu mendukung interpelasi soal dukungan Indonsia atas resolusi DK-PBB 1747, partai yang melesat bak meteor pada Pemilu 2004 ini, tampak kian kecewa dengan komunikasi dan arsitektur kebijakan penting pemerintah. Ini misalnya lamat-lamat disuarakan Sekjen PKS Anismatta dan belakang didukung politisi vokal macam Fachri Hamzah. Yang terakhir ini, secara vulgar mempertanyakan makin besarnya kursi Partai Golkar dalam kabinet setelah Jusuf Kalla terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Munas di Denpasar Bali, Desember 2004.

Dan ketiga, parpol yang mendukung interpelasi tak merasa diuntungkan dengan politik akomodasi dalam reshuffle ketiga. Tesis ini dapat ditelisik pada langkah politik PPP dan PKB. Masuknya Lukman Edy ke KIB Jilid 3 ternyata menciptakan masalah di tubuh PKB. Ketua Dewan Syura Abdurrahman Wahid merasa tak diajak bicara, sehingga masuknya Lukman Edy ke KIB “terancam” tak menghasilkan kompensasi politik bagi SBY.

Dengan matematika politik, Saifullah Yusuf yang kini menjadi Majelis Pertimbangan Partai di PPP sesungguhnya lebih penting bagi SBY untuk meraup dukungan lebih total dari partai Ka’bah ini. Ditambah lagi, Gus Ipul memiliki akar politik kuat di kalangan Nahdliyin serta Anshor. Tapi, SBY tak melakukan itu karena dia menilai PKB harus juga dirangkul untuk menciptakan modal politik di parlemen.

Lepas dari aroma politik di balik interpelasi resolusi Iran, penting untuk diingatkan bahwa hak itu melekat pada DPR sebagai lembaga legislatif. Artinya, Presiden SBY tak harus menghindar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anggota Dewan. SBY yang dipilih secara langsung oleh rakyat harus mengajarkan kepada publik luas bahwa ia bisa menangkis anggota Dewan.

Hak interpelasi diatur pada pasal 27 huruf a UU 22/ 2003. Dalam penjelasan pasal ini,
hak interpelasi diartikan sebagai hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak lainnya, adalah hak angket dan hak menyatakan pendapat.

Dalam berbagai kesempatan Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, dukungan Indonesia atas resolusi 1747 bertujuan mulia, yakni mendorong upaya mencari solusi damai dalam isu nuklir Iran. Tapi, Wirajuda tak menjelaskan bagaimana Indonesia bisa selalu mengawal solusi damai itu jika AS tetap memaksakan cara mereka untuk menyelesaikan isu nuklir Iran. Sekurangnya, empat hal yang tercantum dalam resolusi itu, yakni (1). Memperpanjang pembekuan aset perusahaan dan individu yang mendukung aktivitas nuklir sensitif. (2). Memerintahkan negara-negara memberi tahu panel PBB jika pejabat Iran yang terlibat dalam aktivitas nuklir sensitif memasuki teritori mereka. (3). Menerapkan embargo pada senjata-senjata konvensional yang bisa diekspor Iran. Dan (4). Meminta negara dan institusi internasional tidak melakukan komitmen baru bantuan finansial kepada Iran kecuali untuk tujuan kemanusiaan.

Saya percaya SBY bisa mematahkan anggapan sebagian kalangan bahwa presiden tak mau hadir ke DPR untuk menjelaskan kebijakan pemerintah. Diatas segalanya, sekalipun lolosnya interpelasi kali ini menciptakan spekulasi, andaipun ada upaya politicking terhadap interpelasi resolusi Iran ini masih diambang yang wajar dan tak membahayakan pemerintah. *) Staf Litbang di stasiun televisi swasta.

No comments: