Thursday, May 10, 2007

Simalakama Hak Politik Anggota TNI/Polri

Oleh Moh Samsul Arifin

ADA sesuatu yang baru dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) rancangan Departemen Dalam Negeri (Depdagri): diberikannya hak memilih dan dipilih kepada para anggota TNI/Polri. Pasal 93 Ayat (2) menyebutkan, anggota TNI dan Polri mempunyai hak memilih, sedangkan dalam Pasal 24 Ayat (1) dinyatakan, anggota TNI/Polri termasuk anggota PNS dapat dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jika mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Seperti "petir di siang bolong", usulan yang datang dari pemerintah (Depdagri) itu mengguncang nalar publik yang menginginkan supremasi sipil bagi proses demokratisasi yang baru "seumur jagung" di negeri kita. Dua harian termuka, Kompas dan Media Indonesia, dalam tajuknya menulis, usulan tersebut bukan hanya tidak populer, tetapi juga akan mengganggu kepentingan yang lebih besar, yakni keselamatan dan integrasi bangsa.

Kedua harian pun menggunakan proporsi yang sama, yakni derasnya tuntutan reformasi yang menginginkan TNI/Polri diceraikan dari politik (Media Indonesia, 13/6). "Reformasi menuntut TNI dan Polri untuk kembali kepada jati dirinya sebagai alat pertahanan dan keamanan semata. TNI dan Polri diminta untuk meninggalkan gelanggang politik," demikian Kompas dalam tajuknya (15/6).

Nalar RUU itu sesungguhnya tidak berada di ruang hampa. Ini merupakan respons terhadap Ketetapan (Tap) MPR yang memberi batas kepada TNI/Polri keluar dari DPR paling lambat tahun 2004 dan cabut dari MPR paling lambat tahun 2009 (Tap MPR VI/MPR/2000 dan Tap MPR VII/MPR/2000). Untuk itulah pemerintah mengusulkan hak politik (hak memilih dan hak dipilih) terhadap anggota TNI/Polri diberikan kembali.

Menurut pemerintah, pemberian hak politik itu merupakan hak asasi para anggota TNI/Polri sebagai warga negara. Selain itu, di negara-negara demokrasi, pemberian hak politik kepada tentara adalah sesuatu yang wajar dan bukan privilese (hak istimewa). "Sebetulnya di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, tentara ikut pemilu. Tentara kita saja yang tidak ikut pemilu," ujar Penasihat Fraksi TNI/Polri MPR/DPR Letjen Agus Widjojo. Di kalangan TNI sendiri, usulan tersebut ternyata disambut dingin.

Dalam bentang sejarah militer, terutama keterlibatan mereka dalam pentas politik nasional, pemberian hak politik kepada para anggota TNI/Polri ini tak bisa dibilang baru. Dalam Pemilu 1955 mereka pernah mempunyai hak memilih untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Bahkan, kepolisian (Polri) pernah memiliki partai sendiri bernama Partai Persatuan Polisi Republik Indonesia yang turut pula menjadi kontestan pemilu demokratis pertama di negeri kita pada tahun 1955.

Dihilangkannya hak politik (hak memilih dan dipilih) terhadap anggota TNI/militer terkait dengan "konsensus nasional" yang dibuat menyusul peristiwa G30S yang dipandang dapat membahayakan ideologi nasional (Pancasila). Sebagai kompensasinya, TNI/Polri mendapat hak konstitusi istimewa, yakni "kursi gratisan" di lembaga MPR/DPR tanpa mesti mengeluarkan keringat dalam pemilu.

Meski demikian, sepak terjang militer melampaui apa yang menjadi kesepakatan dengan sipil itu. Dengan dalih dwifungsi ABRI (sekarang TNI/Polri), peran politik militer mendominasi sistem politik nasional.

Sampai dengan Pemilu 1997, pemilu terakhir dalam era Orde Baru, penghilangan hak politik TNI/Polri itu boleh dikatakan tak pernah dikoreksi. Sebaliknya, sejak gelombang ketiga demokratisasi merambat ke negara kita (sekitar tahun 1980-an), dwifungsi menuai gugatan dari sipil.

Satu di antara sedikit tokoh yang getol menyuarakan perlunya dikembalikan hak politik kepada tentara dan polisi adalah Letjen (Purn) A Hasnan Habib. Dalam seminar "Peran dan Posisi ABRI dalam Format Politik Nasional" yang diselenggarakan Yayasan Dharmapena Indonesia pada 12 November 1996, setahun menjelang Pemilu 1997, Hasnan Habib menyatakan agar konsensus nasional yang menghilangkan hak politik angggota ABRI itu ditinjau ulang. Sebaliknya, apabila ABRI ingin hadir di DPR, maka ia harus ikut proses pemilihan. Sebab, kehadiran mereka merupakan bentuk diskriminasi politik.

Yang terakhir ini menjadi sasaran tembak gerakan reformasi. Berkurangnya secara signifikan anggota TNI/Polri yang duduk sebagai anggota DPR merupakan bukti keberhasilan itu. Sayangnya, di era reformasi ini pun penghilangan hak politik TNI/Polri tak pernah diutak-atik. Ada tendensi, peran TNI/ Polri mesti steril dari politik.

Maka, tidak terlalu salah jika sebagian kalangan militer menganggap hal itu juga sebagai bentuk diskriminasi terhadap para anggota TNI/Polri. Menunggu pensiun untuk menyalurkan hak politik bagi mereka yang sama dengan bentuk pengekangan! Poin ini, saya kira, kurang diafirmasi oleh para politisi di parlemen.

Sebagai bentuk usulan (konsep), hemat penulis, apa yang tercantum dalam RUU Pemilu keluaran pemerintah tak perlu direspons secara berlebihan sehingga mengganggu relasi sipil dan militer. Persoalannya, usulan tersebut jatuh bersamaan dengan trauma kalangan sipil yang belum sepenuhnya pulih akibat hegemoni militer sepanjang rezim Orde Baru. Poin ini amat sensitif, sehingga dapat menjadi kendala besar dalam memberikan hak politik kepada para anggota TNI/Polri.

Sebagaimana dimaklumi, selama 32 tahun Orde Baru, oleh dunia internasional, Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara besar yang otoriter (atau pluralisme otoriter versi Robert A Scalapino) karena peran politik militer/TNI yang dominan dalam sistem politik Indonesia. Bahkan, saking "super"-nya peran politik militer, negeri ini pun diberi label yang lebih spesifik, yakni label rezim militer.

Sepanjang Orde Baru, militer memang tak punya hak memilih dan dipilih, tetapi Soeharto selalu menempatkan lembaga tersebut sebagai pilar bagi kelestarian kekuasaannya. Karena itu, tak heran jika kalangan militer menduduki pos-pos penting di pemerintahan mulai dari wakil presiden (wapres) hingga camat.

Kedua, usulan ini lahir di saat demokrasi belum benar-benar terkonsolidasi di negeri ini. Merujuk kepada Schumpeter, barangkali tingkat demokrasi kita masih tergolong minimal (demokrasi elektoral yang sedang tumbuh). Pemilu baru berlangsung satu kali dalam sistem yang demokratis, sementara sistem politik dan institusi demokrasi masih dalam penataan. Pada saat demikian, tak terlalu salah jika kita sekarang ini "membatasi" dulu kebebasan politik para anggota TNI/Polri.

Ketiga, secara teknis sangat sulit untuk membedakan person sebagai anggota TNI/Polri dan warga negara. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau TNI/Polri itu adalah lembaga komando. Aspirasi para anggota TNI/Polri dapat dipengaruhi pimpinannya. Sesuatu yang berpotensi membuat suara-suara tadi jadi monolitik dan menguntungkan partai politik tertentu.

Di samping itu, posisi mereka yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan negara tak mungkin optimal jika mereka harus memilih. Mungkin hak politik itu bisa dikembalikan kepada mereka apabila tatanan dan taraf demokrasi sudah lebih baik dari sekarang.

Keempat, butir yang tercantum dalam Pasal 24 Ayat (2) RUU Pemilu sesungguhnya berpotensi menimbulkan kerancuan. Disebutkan, dalam jangka waktu pencalonan, anggota TNI/Polri yang mendaftarkan diri akan diberhentikan sementara dari statusnya sebagai anggota TNI/Polri. Lalu, dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, jika yang bersangkutan terpilih (menjadi anggota DPD), maka status diberhentikan sementara berlangsung sampai masa keanggotaan berakhir.

Itu jelas standar ganda. Sebagai anggota DPD mereka sekaligus dapat garansi untuk kembali menjadi anggota TNI/Polri jika masa tugasnya Di DPD berakhir. Garansi itu bukan tak mungkin akan membuat mereka yang terpilih memiliki konflik kepentingan. Lalu, bagaimana mereka menyuarakan aspirasi daerah yang diwakili? [Kompas, 29 Juni 2002]

*) Pengkaji sosial politik di Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.

No comments: