Thursday, May 10, 2007

Keniscayaan Hak Politik Prajurit TNI?

Oleh MOH SAMSUL ARIFIN

MABES TNI di Cilangkap sampai saat ini masih belum rampung mengkaji penggunaan hak politik yakni hak memilih dan hak dipilih bagi anggotanya dalam Pemilu 2009
mendatang. Kendati demikian Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono telah "menginterupsinya". Menteri Juwono mengatakan sebaiknya hak politik itu tak
diberikan, setidaknya hingga Pemilu 2014.

Menteri Juwono khawatir prajurit TNI bakal terpengaruh oleh tarik-menarik kepentingan antara partai politik, termasuk pengaruh dari Presiden dan Wakil
Presiden (Kompas, 11/7). Pandangan Menteri Juwono ini dianggap sementara anggota Komisi Pertahanan DPR sebagai "kesimpulan prematur" karena mendahului
survei dan kajian dari Mabes TNI. Memang, saat ini, segenap pihak khususnya partai politik, dalam posisi menunggu jawaban dari Mabes TNI; apakah secara
institusi TNI siap menggunakan hak politik.

Apalagi sebelumnya, Menteri Juwono mengisyaratkan akan menyerahkan keputusan soal pemberian hak politik kepada anggota TNI dan Polri kepada DPR. Itu
berarti, otoritas politik sipil-dalam hal ini legislatif-yang dipercaya untuk mengambil keputusan soal pelik tersebut. Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto
yang mendapatkan "bola panas" untuk menentukan sikap tentang hak politik anggota TNI beberapa saat setelah menggantikan Jenderal Endriartono Sutarto
memilih hati-hati.

Pada Mei lalu, Mabes TNI telah menurunkan tim untuk mengkaji soal perlu tidaknya hak politik untuk prajurit TNI. Kata Panglima, tim ini akan bekerja
hingga 1,5 tahun ke depan. Artinya, baru Juli sampai Agustus tahun depan, tim itu kelar melakukan kajian dan survei. Pada saat itulah, Mabes TNI akan
mengambil sikap. Dengan kalender sepanjang itu, mengapa Menteri Juwono seolah mencemaskan diberikannya hak politik kepada anggota TNI dan Polri?

Apakah hal tersebut merupakan bagian dari "trauma" sipil atas sepak terjang tentara di bawah kekuasaan otoriter Orde Baru? Atau Menteri Juwono melihat
fakta objektif di institusi TNI dan prajurit yang belum siap menggunakan hak politiknya dalam Pemilu 2009? Secara ontologis, hak politik melekat secara
otomatis pada anggota TNI sebagai warga negara. Namun, sejak 1971-2004 (lima kali presiden berganti: demokrasi parlementer, demokrasi Pancasila dan
demokrasi partisipatif/langsung) anggota TNI/Polri ditempatkan sebagai penonton dalam setiap kali penyelenggaraan politik elektoral (pemilu).

Berdasarkan prinsip equal before the law (sama di depan hukum), penggunaan hak politik itu tinggal menunggu waktu saja. Di luar pertimbangan bahwa pemberian
hak tersebut bakal mengganggu reformasi internal di tubuh TNI serta keberlangsungan pemilu demokratis, tak ada alasan lagi untuk menggantungnya.
Harus diakui, dalam periode demokrasi bangsa ini baru melaksanakan dua kali pemilu. Pada saat yang sama penataan ulang institusi TNI dilakukan. Misalnya,
keterlibatan TNI di parlemen dicabut hingga penertiban bisnis di unit-unit usaha semacam yayasan, koperasi dan lain-lain. Dalam konteks semacam itu tidak
mungkin menyerahkan keputusan soal hak politik itu kepada institusi TNI semata.

Namun, tidak tepat juga jika keputusan penting mengenai pemberian hak politik pada anggota TNI ini diserahkan kepada DPR-seperti diujarkan Menteri Juwono
beberapa waktu lalu. Bagaimanapun, DPR adalah kumpulan dari partai politik yang memiliki kepentingan atas anggota TNI dan Polri. Karenanya, isu in
i rentan dipolitisasi dan ide untuk mengembalikan hak politik kepada anggota TNI terdistorsi oleh kepentingan faksional di DPR. Otoritas politik sebaiknya
memutuskan soal ini dengan menimbang banyak hal.

Pertama, bandul sikap dari Mabes TNI. Seyogianya jika segenap pihak menunggu dengan sabar hasil tim kajian yang dibentuk Mabes TNI. Di masa menunggu tadi,
para stakeholder Pemilu-khususnya partai politik-tak boleh "mengintervensi" Mabes TNI dengan anasir-anasir yang bersifat pro paganda. Kita perlu
menghindari faksionalisasi sikap di kalangan TNI akibat tarik-menarik dari kalangan partai politik. Sebab, kalangan parpol lewat jenderal (purnawirawan)
yang menjadi pengurus mereka kemungkinan besar bisa memengaruhi sikap jenderal aktif.

Kedua, kesiapan dari prajurit TNI dan Polri serta kalangan parpol sendiri. Akibat ketidaksiapan para stakeholder ini, otoritas politik, eksekutif dan
legislatif memutuskan untuk menggantung hak memilih dari anggota TNI dan Polri pada Pemilu Presiden 2004. Ini tertuang dalam Pasal 102 Ketentuan Peralihan UU
12/2003 tentang Pemilu. Hemat penulis, kesiapan parpol merupakan conditio sine qua non karena merupakan pihak yang sangat berkepentingan. Meski ceruk pasar
anggota TNI dan Polri tak begitu besar, aparat negara itu memiliki nilai politik lebih.

Jika mengikuti struktur komando TNI/Polri, mendapatkan dukungan dari seorang Panglima Kodam berpeluang menggaet massa pemilih dari prajurit atau bawahan
sang Pangdam. Ini belum ditambah dengan pengaruh "horizontal" dari prajurit kepada keluarga mereka. Di sinilah letak urgensi memotong jaringan komando yang
sudah mendarah daging di kalangan TNI dan Polri. Maka asas netralitas harus diangkat dan harus menjadi kunci keputusan TNI/Polri untuk memberikan hak
politik kepada anggotanya. Tanpa ada upaya serius untuk membuat aturan tentang netralitas institusi TNI/Polri, percuma saja memberikan hak politik kepada
tentara dan polisi.

Di atas segalanya, ketiga, pemberian hak politik itu tak boleh mengganggu kesinambungan proses reformasi internal di tubuh TNI. Sejak rezim otoriter
tumbang, tercatat sejumlah perubahan mendasar. Di masa BJ Habibie, Polri yang semula melekat dan menjadi komponen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
dipisah dari TNI. Polri kembali ke khittah dengan mengurus keamanan negara. Sementara TNI, fokus ke urusan pertahanan negara.

Dua domain ini di masa Soeharto saling bertabrakan, sehingga menempatkan satu pihak diatas pihak lain. Dalam pada itu, Fraksi ABRI di DPR ditiadakan. TNI dan
Polri tak lagi bisa mendudukkan anggotanya di legislatif. TNI kembali ke barak dan menanggalkan dwi fungsi yang telah dijalankan tentara tahun 1950-an. Lalu,
kedua institusi ini dirancang menjadi profesional, seperti umumnya tentara dan polisi di negara-negara demokratis. [Pikiran Rakyat, 14 September 2006]

*) Analis politik pada Centre for Bureaucracy Studies Jakarta.

No comments: