Tuesday, May 8, 2007

"Emoh Parpol" Mengancam Demokrasi

Oleh Moh Samsul Arifin

JJ Roosseau adalah sedikit filsuf politik yang mengidap cita-cita demokrasi langsung. Baginya demokrasi tanpa partisipasi langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Dalam Pemilu 2004, apa yang dicita-citakan tokoh itu akan dicoba di negeri majemuk ini, setidaknya dalam pemilihan pasangan Presiden/Wakil Presiden serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang kontras, dalam pemilihan anggota DPR, penentunya masih melibatkan partai politik, kendati rakyat sudah mencoblos gambar (sistem proporsional terbuka).

Pembaruan politik yang terbilang cemerlang itu akan menjadi momen pertama di abad ke-21 ini, di mana rakyat bisa bebas menentukan sendiri siapa pemimpin mereka di lembaga eksekutif dan legislatif. Namun, siapa bilang pembaruan itu tanpa cela? Pertama, oligarki parpol sangat menonjol, baik dalam proses pembuatan produk hukum atau di dalam materi hukum itu sendiri. UUD 1945 hasil amendemen hingga produk UU politik terkait dengan Pemilu (UU Pemilu Legislatif hingga UU Pilpres), nyaris seluruhnya bias kepentingan parpol.

Kedua, hampir tak terbantahkan bahwa pembaruan dari demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung sangat drastis tanpa proses jeda. Kesan, yang tertangkap kemudian adalah bangsa ini kelewat percaya diri. Padahal untuk sampai pada demokrasi langsung yang kata Alvin dan Heidi Toffler merupakan efek samping gemerlap revolusi teknologi informasi, memerlukan tahapan-tahapan. Dalam perjalanan sistem demokrasi, demokrasi langsung kerap berjalan seiring kemajuan teknologi sebuah bangsa. Bisa dibayangkan, bagaimana rakyat Papua (suku Dani) menyatakan aspirasi politik pada pasangan calon presiden/wapres kelak tanpa diterpa informasi memadai soal pasangan calon yang bersaing. Jangan-jangan pilihan mereka nanti tidak beranjak, tetap " dipilihkan" oleh parpol.

Keterlibatan, untuk tak mengatakan hegemoni parpol yang kelewat besar di atas, sebetulnya kontraproduktif. Sebab ia membuka peluang bagi termantiknya apa yang disebut " emoh parpol". Fenomena ini adalah bentuk pe-negasi-an (kalau bukan a priori) terhadap peran dan fungsi parpol dalam kehidupan demokrasi. Emoh parpol merupakan tindakan individual atau komunal yang berpretensi mengubah haluan rakyat (publik) sehingga tak punya kepercayaan lagi pada parpol.

Trauma Politik

Dalam pengamatan saya, sedikitnya ada tiga sebab yang memicu emoh parpol. Pertama, trauma politik yang tak punya pintu keluar. Ini dapat disaksikan dalam merebaknya fenomena golongan putih (golput) setiap kali pemilihan umum. Jika kita buka kalender politik, sejarah golput sudah ada sejak Pemilu 1971, kala Soeharto tengah melapangkan jalan untuk melanggengkan kekuasaannya dengan sistem politik otoriter.

Partisipan golput sejak awal adalah kalangan terpelajar (mahasiswa) dan masyarakat perkotaan yang relatif melek politik. Di kampus-kampus, tradisi golput sudah menyejarah. Di sana, kuantitas pemilih golput kadang-kadang rasional, tapi kerapkali dihasilkan dari pandangan yang sifatnya a priori. Maksud saya, adakalanya pilihan mahasiswa untuk tidak menggunakan hak pilih pada pemilu itu tidak selalu berkaitan dengan realitas politik yang tengah terjadi. Para mahasiswa semacam ini yang tinggal di menara gading kelewat berpikir berdasarkan idealitas politik yang dibacanya, tanpa mengaitkannya dengan realitas politik.

Sedangkan mereka yang rasional umumnya adalah para aktivis yang membenturkan dua hal tadi, tapi mereka sama sekali tidak percaya pemilu dapat memecahkan persoalan di lanskap kebangsaan. Saya kurang yakin kalau mayoritas golput di kampus adalah mahasiswa yang rasional. Kebanyakan pemilih golput adalah mahasiswa yang sekadar " membebek", " membeo" alias ikut-ikutan.

Kian hari saya memeroleh kesan, para konstituen golput yang bertahan hingga kini adalah kalangan yang a priori. Kalangan inilah yang memerlukan sosialisasi intensif dari segenap pihak, khususnya dari partai politik, agar tidak terjebak pada sikap-sikap a priori. Tapi, bagaimana mungkin sosialisasi itu dapat dilaksanakan jika tak ada media untuk itu?

Kedua, pandangan yang terlampau faktual tanpa diimbangi pandangan idiil. Ini menonjol dalam serangkaian polling (jajak pendapat) akhir-akhir ini di mana individu atau kelompok masyarakat sangat kecewa atas kinerja parpol dan elite politik yang jeblok. Pantas, kalau sekarang dalam masyarakat kita terbit sebuah kerinduan terhadap masa lalu akan tertibnya politik serta kesejahteraan ekonomi seperti era Orde Baru.

Masyarakat kita yang memorabilia tak mungkin bisa melepaskan keterkaitan dengan masa lalu yang dianggap penuh perayaan suka cita. Hal itu bukan semata-mata disebabkan oleh persepsi yang mengalami regresi. Ada tendensi kuat kerinduan terhadap masa lalu itu terkait dengan kesuntukan terhadap masa kini, sebuah masa di mana kita masih sangat bayi memulai proses demokrasi.

Sangat galib kiranya apabila perjalanan demokrasi yang belum membuahkan kesejahteraan ekonomi baru riuh rendah politik ditanggapi publik (massa rakyat) dengan kecemasan. Maklumlah, ketika parpol dan elite politik tak sanggup menerbitkan selaksa harapan, maka massa rakyat kian tak punya bayangan masa depan yang baik. Dalam situasi psikologis pupus harapan itu, publik lalu menengok kembali masa lalu, yang kebetulan saat itu eksistensi parpol ada di titik nol (baca: dikerdilkan Soeharto).

Ketiga, suburnya anggapan bahwa civil society jauh lebih penting dalam proses pembangunan demokrasi daripada parpol. Yang terakhir ini termanifestasi dalam gerakan anti-parpol yang berkembang di bawah permukaan (klandestin). Kalangan ini laksana Sukarno ingin sekali mengubur eksistensi parpol dengan mengubah haluan lewat jalur revolusioner.

Perubahan dalam perspektif ini, tak mesti lewat institusi-institusi politik formal, tapi melalui saluran ekstra-konstitusional.

Di ruang publik, kita belum mendengar skenario ini. Tapi jelang Pemilu 2004 nanti ada kemungkinan skenario ini akan dicoba.

Konsolidasi

Menurut Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1998), dalam proses konsolidasi demokrasi, civil society dan partai politik (yang mereka kategorikan sebagai masyarakat politik) sama-sama diperlukan dan penting. Konsolidasi demokrasi menuntut penghargaan terhadap institusi-institusi masyarakat politik yang pokok seperti parpol, badan pembuat undang-undang (DPR), pemilihan umum, aturan pemilu, kepemimpinan politik atau bahkan aliansi parpol. Antara civil society dan parpol mesti saling melengkapi, dan jangan sampai dua kategori masyarakat tersebut dibenturkan satu sama lain.

Di Eropa Timur, Amerika Latin, atau Indonesia, kita memang menyaksikan civil society adalah garda depan (bahkan pahlawan) dalam sejarah perjuangan melawan rezim non-demokratis. Kekuatan civil society berjibaku dalam proses transisi demokrasi dengan cara membantu melawan pembalikan-pembalikan hingga memberikan alternatif-alternatif politik yang mampu mengantar bangsanya sampai pada tahap demokrasi yang terkonsolidasi. Fokus yang demikian tinggi pada civil society bertujuan untuk memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat di luar negara agar bisa berperan dalam proses perumusan kebijakan-kebijakan politik dan sosial.

Namun demikian, kita jangan lupa, proses demokrasi juga membutuhkan parpol untuk mengumpulkan dan mewakili perbedaan-perbedaan yang timbul. Konsolidasi menuntut dikembangkannya pembiasaan pada norma-norma dan prosedur-prosedur penanganan konflik yang demokratis.

Parpol, dapat berperan dalam intermediasi antara negara dan civil society, serta mencari kemungkinan kompromi antara dua institusi tersebut. Sejeblok apapun kinerja parpol, sangat tidak mungkin ia dikuburkan. Sebagaimana civil society, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, birokrasi dan supremasi, parpol selalu dibutuhkan untuk menjadi pilar demokrasi sebuah bangsa. [Suara Pembaruan, 11 September 2003]

Penulis aktif di Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.

No comments: