Tuesday, May 29, 2007

Memeriksa Ide Penghapusan Nomor Urut

Oleh Moh Samsul Arifin

DI ANTARA diskursus politik yang menyita perhatian publik, perbincangan mengenai sistem pemilu legislatif jauh lebih maju. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melempar perlunya diadaptasi sistem pemilu yang memungkinkan peraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota DPR dimenangkan dalam politik elektoral.

Caranya nomor urut dihapus dan siapa pun yang menangguk suara terbanyak berhak atas kursi yang diperebutkan di sebuah daerah pemilihan (DP). Ide perubahan itu dikemukakan SBY di depan peserta Seminar & Lokakarya Nasional Perempuan Parlemen di Jakarta akhir November 2006. Memang mesti diakui selama ini kalangan perempuan lah yang kerap dirugikan dengan diberlakukan nomor urut dalam pemilu legislatif.

Dalam dua pemilu pasca otoritarianisme, pemilik nomor urut papan atas sebagian kalangan menyebut nomor urut jadi˜mendominasi kursi DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Mereka ini adalah orang yang dipercayai atau lebih tepatnya dapat “membeli” kepercayaan pengurus partai (DPP, DPW hingga DPD) sehingga ditempatkan pada nomor urut jadi. Pada Pemilu 2004 memang telah diadaptasi sistem proporsional terbuka yang memungkinkan pemilih mencoblos nama calon yang dikehendaki. Namun, ironisnya nyaris hampir seluruh anggota DPR dan DPRD meraih kursi tanpa mampu menembus Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP).

BPP adalah bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian antara total suara sah di sebuah daerah pemilihan (DP) dengan jumlah kursi yang tersedia di DP tersebut. Setiap DP pada Pemilu 2004 lalu memiliki alokasi antara 3-12 kursi. Bayangkan dari 550 anggota DPR, hanya dua orang yang sanggup memenuhi BPP. Sebanyak 548 anggota mengisi kursi DPR karena diuntungkan oleh nomor urut. Karena itu sementara pihak menyebut UU 12/2003 tentang Pemilu Legislatif masih tanggung.

Apabila tak ada caleg yang memenuhi BPP, kursi yang diraih sebuah partai politik di DP tertentu diberikan kepada pemilik nomor urut jadi. Andaikata sebuah partai menangguk 3 kursi di DP itu, pemilik nomor urut 1, 2 dan 3 melenggang ke DPR atau DPRD. Cara ini memakan korban perempuan politisi Nurul Arifin yang pada Pemilu 2004 lalu dicalonkan Partai Golkar di DP Jawa Barat VI (Karawang dan Purwakarta).

Bekas artis film itu meraih suara terbanyak di DP tersebut. Tapi, karena suara yang diperolehnya tak memenuhi BPP, dua kursi yang dipungut Golkar di DP itu diserahkan ke pemilik nomor urut 1 dan 2. Keringat Nurul, yang berada di nomor urut bontot atau bawah˜acapkali disebut nomor sepatu˜tak dapat dinikmatinya. Nurul gagal ke Senayan!

Secara empiris dapat disimpulkan sistem proporsional tertutup (Pemilu 1999) dan sistem proporsional terbuka dengan BPP (Pemilu 2004) sama-sama tak menghasilkan anggota legislatif yang populer dan
dikehendaki pemilih (voter). Partai Golkar, sebagai pemilik kursi terbanyak di DPR, tak lebih “progresif” dari Presiden SBY. Dalam Rapimnas terakhir Partai Beringin mengusulkan BPP masih diterapkan, namun dengan modifikasi.

Caleg yang mengantongi jumlah suara setara 25 persen BPP berhak atas satu kursi yang diperoleh parpol di DP bersangkutan. Seandainya tak ada yang memenuhi ketentuan ini, kursi yang diperoleh parpol di DP tersebut diberikan kepada pemilik nomor urut jadi. Sedikit ke belakang, Nurul Arifin dan ribuan lagi lainnya berhak atas kursi partai tempat mereka mencalonkan diri.

Pertanyaannya, mungkinkah usulan yang dilempar SBY menjadi kata umum bagi kalangan anggota DPR di Senayan? Apakah cara menghapus nomor urut itu mujarab dalam meningkatkan kualitas rekrutmen politik
anggota DPR? Dan seterusnya, apa lagi yang harus diubah untuk mencapai sistem pemilu legislatif yang berguna untuk menghidupi demokrasi Indonesia?

Sistem pemilu adalah sarana rakyat. Sebuah institusi yang digunakan untuk menyeleksi para pengambil keputusan ketika masyarakat telah menjadi terlalu besar bagi setiap warga negara untuk ikut terlibat setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi komunitas. Dengannya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat.

Namun, menurut Andrew Reynolds (1998), justru institusi politik yang paling mudah dimanipulasi, untuk tujuan baik atau buruk, adalah sistem pemilu. Sebab dalam menerjemahkan suara-suara yang diperoleh
dalam suatu pemilihan umum menjadi kursi-kursi di badan legislatif, pilihan dari sistem pemilu dapat secara aktif menentukan siapa yang terpilih dan partai mana yang meraih kekuasaan.

Ujaran Reynolds ini sudah bak konstatasi yang berlaku umum di banyak negara. Itu artinya setiap langkah perubahan sistem pemilihan umum˜apalagi jika merugikan para pihak yang diuntungkan dengan sistem
pemilu lama˜akan mendapat tentangan pertama dari mereka. Kekuasaan untuk menggantinya berada di tangan mereka yang telah mendapatkan manfaat dari sistem tersebut.

Ide perubahan dari SBY akan menguap begitu saja jika “kepanjangan tangan” pemegang kekuasaan eksekutif itu tak mem-back up usulan tersebut dalam pembahasan paket UU Politik di Senayan. DPR menargetkan dapat mengesahkan paket UU Politik, termasuk revisi UU Pemilu, pada Agustus nanti.

Sejauh ini pembahasan UU Pemilu belum lagi menghangat. Sekarang belum ada kertas kerja atau draft yang dipublikasikan kepada khalayak. Karena itu dapat dimengerti jika Demokrat masih menyimpan rapat-rapat
sikap politik mereka ihwal ide yang ditabuh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut. Demokrat akan berhati-hati, sebab fakta menunjukkan para wakil rakyat partai ini juga mendapat manfaat dari tetap bertahannya ketentuan nomor urut dalam sistem pemilu legislatif.

Istana jauh lebih getol mengembuskan ide perubahan ini. Juru Bicara Kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng (yang berlatar belakang ilmu politik) termasuk yang kencang “menjajakan” penghapusan nomor urut. Penulis bisa memahami mengapa justru Istana yang getol. Kiranya ini berkaitan langsung dengan tindak-tanduk politik sang presiden yang gemar sekali merawat citra dan popularitas di depan publik.

Empirisme politik mengajarkan kepadanya bahwa dia memimpin negeri ini karena “dikerek” popularitasnya yang menjulang menjelang Pemilu 2004 lalu. Dalam hal ini terjadi perjumpaan manis antara idealisasi
politik sang presiden dengan empirisme.

Seperti diutarakan di muka, dominasi parpol dalam penentuan kandidat atau calon legislatif begitu kental di negeri ini. Ekspektasi SBY dan publik luas untuk mendapatkan anggota legislatif yang populer (baca: dikehendaki rakyat) lewat penghapusan nomor urut bakal gagal jika partai politik tetap menjadi satu-satunya pintu masuk bagi seorang warga negara untuk menjadi kandidat calon di pemilu legislatif.

Pasal 67 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan “Calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan Partai Politik Peserta Pemilu (2004)…”.

Dalam pada itu, rekrutmen oleh parpol saat ini masih belum mencapai taraf yang membanggakan. Di sisi lain kader-kader yang berkecimpung di partai politik masih itu-itu saja. Dan para calon pemimpin alternatif sulit menampakkan diri karena digunting partai politik. Parpol pun menjadi kian mahal seolah tak ada politik tanpa
biaya yang menggunung.

Dominasi parpol itu bukan hanya dalam fase pencalonan, namun juga di bilik suara. Mengacu pada sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004, setiap pemilih diwajibkan mencoblos gambar partai politik. Pemilih boleh mencoblos nama/gambar kandidat, tapi harus tetap mencoblos gambar parpol (Pasal 84 ayat 1 UU Pemilu). Sedangkan pemilih yang hanya mencoblos nama/gambar kandidat, maka suara pemilih itu dianggap tidak sah.

Untuk itu penting dipikirkan mulai membatasi dominasi parpol dalam politik Indonesia. Sayangnya kesadaran semacam ini masih mewah. Para tokoh penggerak parpol yang kalah dalam perhelatan Pemilu 2004 masih saja menganggapkan parpol harus menjadi satu-satunya pintu masuk ke parlemen. Alih-alih mendesakkan ruang untuk calon non-parpol atau independen berkecimpung dalam parlemen, sejumlah tokoh mengubah
nama, melakukan merger dan membentuk parpol baru demi berpartisipasi dalam Pemilu 2009.

Harapan akan terbitnya sistem pemilu yang memberi akses kepada pihak-pihak di luar parpol seyogyanya juga didesakkan kalangan civil society. Jika tidak menjangkau dua aspirasi diatas, setidaknya dominasi parpol di ruang bilik suara diminimalisasi. [Februari 2007]

*) Staf Litbang sebuah stasiun televisi swasta.

No comments: