Wednesday, May 9, 2007

Parlindoengan dan Kekejaman Nazi

Oleh Moh Samsul Arifin

---
Judul: Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi (Autobiografi Parlindoengan
Loebis)
Penulis: Parlindoengan Loebis
Penerbit: Komunitas Bambu, Depok, September 2006
Tebal: xxiv + 293 halaman
---

Sebutlah Parlindoengan Loebis. Pastilah masyarakat Indonesia mengernyitkan
dahi tanda tak tahu. Ya...memang dibandingkan Tan Malaka (yang memiliki goresan materialisme ala Indonesia dalam salah satu masterpiece “Madilog”), pria kelahiran pedalaman Sumatra Utara ini kalah mentereng. Parlindoengan
lahir di Batang Toru, 54 kilometer dari Siboga, Tapanuli Selatan saat negeri kita bergeliat memancang benih-benih nasionalisme tahun 1910-an.

Seandainya Clara Johanna Soumokil, istri Parlindoengan, tak melarangnya untuk berkiprah dalam politik nasional pasca kemerdekaan mungkin cerita ihwal tokoh yang satu ini bakal berubah 180 derajat. Pada 1 Januari 1947, Parlindoengan tiba di pelabuhan Tanjung Priok, setelah mengembara selama 14 tahun di daratan Eropa.

Dalam sejarah Indonesia, tokoh-tokoh yang tercatat adalah mereka yang berkecimpung secara intens di dunia politik. Parlindoengan dalam konteks itu perkecualian, sebab ia mampu keluar dari dunia yang biasa dihuninya karena dua sebab: sang istri mengalami trauma hebat atas empat tahun Parlindoengan
disekap Nazi Jerman dari satu kamp ke kamp konsentrasi lain serta Johanna mengidap TBC kronis yang membutuhkan perhatian Parlindoengan. Kebetulan Parlindoengan seorang dokter jebolan Universitas Leiden, membuka praktik di Amsterdam dan ditunjuk menjadi dokter di kamp konsentrasi Nazi.

Parlindoengan memiliki segalanya untuk menancapkan nama di belantara politik nasional seperti saat dia memimpin Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda antara 1937-1940. PI ini juga yang digunakan Mohamad Hatta untuk menggalang kemerdekaan Indonesia di Belanda saat proklamator itu menjadi ketua.
Parlindoengan berbeda generasi dengan Bung Hatta. Dia berkiprah di PI saat Eropa tengah membara oleh sepak terjang Nazi di bawah Adolf Hitler—suatu waktu ketika rasisme disebarkan bak hantu yang menakutkan manusia di benua putih tersebut. Inilah masa menjelang pecahnya Perang Dunia II dan ambisi
Hitler menelan jutaan orang tak bersalah.

Selain Bung Hatta yang menjadi Wapres, para jebolan PI banyak diangkat Presiden Soekarno sebagai menteri dan duta besar (hal 69-71). Sedangkan Parlindoengan hanya “memilih” profesi dokter dengan jabatan Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik Persenjataan Departemen Pertahanan di Yogyakarta. Dan kemudian membuka praktik di Jalan Lauser Kebayoran Jakarta (hal 270-271).

Cucu Raja Gumanti Porang Dibata, raja dari Pakantan Dolok, Tapanuli Selatan ini ditahan tentara Nazi Jerman pada 26 Juni 1941. Atau tiga bulan setelah Parlindoengan menikahi Johanna. Saat masih dalam bulan madu, dia harus meninggalkan sang istri dengan alasan yang tidak jelas. Setelah empat tahun di kamp, Parlindoengan baru tahu bahwa dia ditahan Jerman karena aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia yang dituding dekat dengan bagian propaganda Partai Komunis Holland (Belanda).

Dari Amsterdam, lokasi praktik dokternya, dia dibawa ke Weteringschans, kamp Schoorl (dekat Alkmaar, Belanda), kamp Amersfoort. Kemudian Parlindoengan dipindahkan ke kamp konsentrasi di Jerman: Buchenwald, pabrik pesawat Heinkel (kamp Heinkelwerke) dan Sachsenhausen. Ia bukan satu-satunya aktivis
PI yang ditangkap dan dijebloskan ke kamp konsentrasi. Ikut diseret Nazi, kawan karibnya, Sidartawan (Sekretaris saat PI dipimpinnya).

Ia bertemu
Sidartawan saat keduanya menghuni kamp Schoorl. Tapi, Sidartawan tidak lama berada di kamp ini. Itu karena Sidartawan masuk kategori tahanan yang harus segera dikirim ke kamp konsentrasi di Jerman. Masuk kategori ini, kalau tidak beruntung, sama dengan menuai kekejaman di gerbang kematian. Dan benar, pada pengujung Maret 1942, Sidartawan diangkut ke Jerman. Setelah itu keduanya tak pernah bertemu, hingga Parlindoengan mendengar kabar Sidartawan merengang nyawa di tangan serdadu Jerman.

Berada di kamp Schoorl masih lumayan. Parlindoengan bisa bertemu dengan sang istri, Johanna. Suatu waktu Johanna bareng temannya, Evi Putiray menyelinap di semak-semak dekat barak. Di situlah Parlindoengan berjumpa sang istri sebelum ikut diangkut ke kamp Buchenwald, Jerman. Beradu punggung dengan
kamp di Belanda, di kamp Buchenwald Parlindoengan mulai menyaksikan adegan-adegan kekejaman oleh tentara Jerman. Masa itu adalah kedigdayaan Jerman dengan angkatan perang yang tiada banding. Jerman menaklukkan Eropa Barat dan Skandinavia, menggulung Balkan di Selatan, menyeberang ke Afrika
Utara dan menggedor-gedor benteng Inggris di Mesir, Tobruk dan Alamein.

Disiplin di kamp Buchenwald sangat keras. Masuk ke situ, setiap tahanan akan digunduli, lalu disuruh masuk kamar mandi jumbo. Setelah itu, setiap tahanan diberi baju piyama bergaris-garis dan tutup kepala serupa baret yang menandakan seragam konsentrasi. Jangan tanya alas kaki. Para tahanan hanya diberi sepatu dari kayu. Kamar mandi yang disediakan itu tentu saja tak bisa dipakai tahanan setiap saat. Baju pun hanya berganti setelah tiga bulan. Sewaktu berada di kamp ini Parlindoengan sudah nyaris putus asa. Dia hanya
berharap ada keajaiban besar, yakni Sekutu (Amerika Serikat dan konco-konconya) merontokkan Jerman, bisa mengeluarkan dia dari sekapan Nazi.

Di kamp Buchenwald, pekerjaan yang dibebankan kepada para tahanan amatlah berat. Para tahanan diminta memecah batu-batu dari gunung dan memikulnya ke tempat di mana batu itu diperlukan. Kamp ini dikelilingi jawat berduri yang amat tinggi dan dialiri listrik dengan tegangan tinggi. Sering kejadian tawanan yang telah putus asa bunuh diri dengan memegang kawat tersebut. Bila seorang tawanan bekerja melintasi garis batas kamp yang ditetapkan Schutz Staffel (SS/pasukan hitam Jerman), meskipun tanpa disengaja, tawanan itu
akan ditembak. Setiap tawanan ditandai dengan segitiga berwarna. Segitiga merah untuk tawanan politik, dan segitiga hijau (bekas orang-orang kriminal). Sebagian besar penghuni kamp ini adalah tawanan politik.

Hanya para tahanan bermental baja yang sanggup bertahan di kamp-kamp konsentrasi di Jerman. Banyak sekali tawanan mati karena tidak tahan mental, terlalu nostalgik dengan masa lalu dan sentimentil. Menurut Parlindoengan, ini banyak dialami orang Perancis, Ukraina, Uzbekistan dan Tajikistan. Orang-orang Perancis lekas mati karena selain bencinya kepada orang Jerman, juga karena merasa sama sekali tidak bersalah tapi dijebloskan ke dalam kamp. Pernah kejadian hanya tinggal beberapa bulan sebelum tentara sekutu
menyerbu daratan Perancis dan keadaan di kamp Sachsenhausen sudah lumayan, masuklah ke kamp sebanyak 600 orang tawanan asal Perancis. Baru berjalan dua sampai tiga bulan, dua pertiga (sekitar 400) orang tawanan asal Perancis itu telah mati (hal 191).

Selain diselamatkan oleh kekalahan Jerman dari Sekutu, ada dua hal lagi yang membantu Parlindoengan keluar dengan selamat dari kamp konsentrasi Nazi pada 1945. Pertama, karena bermental baja. Dan kedua, berprofesi sebagai dokter.

Parlindoengan sadar betul hidup di kamp konsentrasi yang merupakan tempat penjagalan nyawa tak harus disikapi dengan mental yang kecut. “Untuk dapat bertahan hidup dalam kamp...aku harus mempunyai hati yang keras dan tanpa rasa seperti batu...Kita harus kembali menjadi manusia yang primitif dan berusaha hanya untuk memenuhi kebutuhan yang paling primitif, yaitu makan secukup mungkin, tidak menjadi sakit dan mengeluarkan tenaga sedikit mungkin. Hiduplah untuk hari itu saja” (hal 154-155). Parlindoengan berusaha agar tetap hidup dengan menyadari “Hidup untuk hari itu saja”—mirip tokoh sentral Guido dalam film Life is Beautiful yang bercerita tentang kekejaman di kamp konsentrasi Nazi.

Kehidupan Parlindoengan di kamp konsentrasi makin lumayan setelah dia diangkat menjadi dokter antara 1943-1945. Itu terjadi saat dia dipindah dari kamp Heinkel ke Sachsenhausen. Menjadi dokter di kamp ini memberi keleluasaan kepada Parlindoengan untuk membantu para tawanan. Dia sering diminta tawanan untuk membantu menyelamatkan tawanan itu dari maut tentara Jerman. Misalnya, seorang tawanan Polandia masuk daftar untuk dibunuh menemuinya.

Dalam kondisi demikian, dia memilih berbohong kepada atasannya (penjaga poliklinik di kamp itu) ketimbang mengatakan kesehatan tawanan itu yang sebenarnya. Parlindoengan pura-pura mengoperasi usus buntu sang tahanan yang sebetulnya tidak bermasalah ketimbang menyerahkan tawanan itu di ujung senapan tentara Jerman. Berkat cara itu tawanan asal Polandia tersebut selamat. Sebab setelah tawanan ini sehat sehabis operasi dan masa pemulihan, vonis mati untuknya dibatalkan (hal 196).

Begitulah Parlindoengan. Dia menceritakan kisah hidupnya dengan lugas, tak diperindah dengan sastra. Tapi, dengan cara apa adanya itu, sejarawan dari Universitas Leiden, Harry A. Poeze, menyebut autobiografi ini bisa membawa pembaca pada dimensi yang lebih mengerikan atas kekejaman Nazi. Dari Parlindoengan, setidaknya pembaca akan memungut satu spirit yang lamat-lamat ditinggalkan bangsa ini: Optimisme! [Jawa Pos, Januari 2007]

*) Jurnalis Televisi.

No comments: