Monday, May 7, 2007

Periode Kritis Kekuasaan Habibie

Judul Buku : Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Menuju Demokrasi
Penulis : Bacharuddin Jusuf Habibie

Penerbit : The Habibie Center, Jakarta,

Cetakan : Pertama, September 2006

Tebal : 549 Halaman

Perlu delapan tahun lebih untuk percaya bangsa ini sanggup menerima fakta sejarah yang melingkupi proses pergantian kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie. Setidaknya itulah yang ada di benak perintis industri dirgantara Indonesia ini untuk menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya selama 512 hari memimpin Indonesia lewat buku Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Penjang Menuju Demokrasi.

Namun, peristiwa yang dibabar dalam buku ini, ujar Habibie, baru 70 persen dari fakta sejarah yang perlu diketahui publik Indonesia. Masih ada 30 persen fakta sejarah lagi yang disimpan Habibie. Dan fakta sejarah itu bakal diungkapnya setelah dia menganggap publik Indonesia siap. Kapan itu? Hanya subjektivitas bekas tokoh yang pernah dijuluki pers sebagai ’’putra mahkota’’ Soeharto ini dan Tuhan yang tahu.

Kendatipun belum seluruh fakta sejarah yang dia saksikan, dia rasakan dan dia lakoni disuguhkan, buku ini sudah memantik kontroversi. Ini bermula dari afirmasi Habibie bahwa Pangkostrad (saat kejadian 22 Mei 1998) Letjen Prabowo Subianto tanpa koordinasi dan sepengetahuan Pangab (Jenderal Wiranto) telah memerintahkan pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak ke ibu kota. Pasukan ini dikonsentrasikan di kediaman Habibie (Kuningan) dan Istana Merdeka (hlm. 82).

Laporan Wiranto --sekitar pukul 09.00 tanggal 22 Mei 1998-- menjelang pengumuman Kabinet Reformasi Pembangunan itu telah membuat Habibie memutuskan langkah darurat. Sang presiden menginstruksikan kepada Wiranto untuk mencopot Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto sebelum matahari terbenam hari itu juga. Habibie tak mengantongi siapa nama pengganti Prabowo dan menyerahkan sepenuhnya pergantian Pangkostrad kepada Wiranto.

Peristiwa inilah yang menjadikan pergantian di tampuk kepemimpinan Kostrad tidak biasa. Selama kurang dari 24 jam, ada dua perwira militer yang memimpin kesatuan TNI-AD berpengaruh ini. Bayangkan saja, dalam hitungan menit setelah mengumumkan Kabinet Reformasi Pembangunan, Wiranto telah menyetor nama Pangkostrad baru ke Habibie. Pangab menunjuk Pangdam Siliwangi (saat itu) Mayjen Djamari Chaniago sebagai pengganti Prabowo. Hanya saja karena pelantikan terhadap Pangkostrad baru tak bisa dilakukan hari itu juga (22 Mei 1998), Wiranto menunjuk Asisten Operasinya, Letjen Johny Lumintang untuk memegang jabatan Pangkostrad sampai Djamari dilantik keesokan harinya (23 Mei 1998).

Mengapa Habibie setuju dengan langkah drastis dari Wiranto itu? Agaknya Dia diliputi kekalutan yang luar biasa akibat suasana politik dalam fase pergantian kekuasaan saat itu. Habibie sungguh risau, dan itu tergambar sekali setelah Prabowo meminta untuk bertemu dengannya. (Permintaan Prabowo ini disampaikan protokol Istana setelah Habibie menerima telepon

Wiranto yang melaporkan nama Pangkostrad baru). Apalagi, dengan alasan keamanan, seluruh keluarga Habibie dikumpulkan di Wisma Negara. Kerisauan Habibie ini dikuatkan Wiranto yang menulis Dua Kubu Kebenaran di Kompas (2 Oktober 2006), ’’Presiden Habibie tampak masih amat terkejut (shock) dengan situasi yang ada…Kekhawatiran akan adanya pihak-pihak yang tidak setuju dengan pengangkatannya sebagai presiden masih tinggi.’’

Habibie menulis, ’’Apakah tidak lebih aman jikalau keluarga saya masih tetap di tempatnya masing-masing? Saya teringat nasib Keluarga Tsar Romanov dari Rusia yang semuanya dibunuh di satu tempat dalam revolusi kaum Bolshevik. Pemikiran yang mengerikan timbul’’ (hlm. 95-97).

Tapi, Habibie dapat keluar dari perasaannya itu. Sang presiden bersedia menerima Prabowo. Habibie menerima Prabowo di ruang kerjanya. Pertemuan ini digambarkan Habibie sedikit emosional. Probowo menyebut penggantian dirinya sebagai telah menghina keluarga dan keluarga mertuanya.Habibie menjelaskan bahwa pergantian itu karena dia mendapat laporan

dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan dan Istana Merdeka. Kata Prabowo, pasukan itu untuk mengamankan Presiden (Habibie). Ini ditepis Habibie, sebab tugas itu adalah kewenangan Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab. Akhirnya keluarlah ucapan bernada marah dari Prabowo, ’’Presiden apa Anda? Anda naif!’’ (hlm. 101-102).

Buku Habibie ini secara eksplisit membenarkan bahwa ada upaya kudeta terhadap pemerintahannya yang menerima kekuasaan dari Soeharto pada 21

Mei 1998. Percobaan kudeta itu bakal dilaksanakan oleh jenderal yang selama ini dekat dirinya, Prabowo. Tapi, sulit mengerti bagaimana mencari logika ’’kudeta’’ dari seorang yang menganggap sang Presiden sebagai idolanya tersebut. Prabowo terus terang menganggap Habibie sebagai orang yang dituakannya. Kalimat seperti ini dalam khazanah Jawa menunjukkan ketakjuban dan sekaligus ketaatan orang yang mengucapkannya kepada orang tua tersebut.

Ini yang dijelaskan Prabowo berulang-ulang dalam bantahannya ke sejumlah stasiun televisi di tanah air. Menurut Prabowo, ada kontradiksi di balik penjelasan Habibie bahwa dirinya emosional dan marah ketika bertemu Habibie untuk meminta keterangan ihwal pencopotan dirinya sebagai Pangkostrad. Begini kurang lebih bantahan Prabowo, ’’kalau pertemuan itu emosional, mana mungkin beliau memeluk saya di akhir pertemuan tersebut.’’

Memang, pada halaman 103 bukunya, Habibie mengungkapkan, ’’Saya masih sempat memeluk Prabowo dan menyampaikan salam hormat untuk ayah kandung (Sumitro Djojohadikusumo) dan ayah mertua Prabowo.’’ Secara telanjang Habibie mengaku bahwa Soeharto dan Sumitro (begawan ekonomi Indonesia) adalah tokoh idolanya, selain Soekarno dan Widjojo Nitisastro --salah seorang arsitek ekonomi Orde Baru (hlm. 289).

Prabowo membenarkan bahwa dirinya mengerahkan pasukan di Jakarta, Istana Merdeka, dan Kuningan. Itu bahkan dilakukannya sejak 21 Mei 1998 malam, fase paling gawat dalam transisi kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Hanya saja Prabowo menangkis konsentrasi pasukan itu sebagai upaya kudeta. Prabowo dengan lantang menyatakan dirinya mengemudikan 34 batalyon, namun pasukan itu terkendali. Demikian pula dengan pasukan yang saat itu berada di Jakarta berada di bawah kendali Pangdam Jaya.

Di luar kontroversi ihwal ’’kudeta’’, Habibie dalam buku ini juga mengungkap segepok fakta lain. Misalnya tentang mundurnya 14 menteri --dipelopori Ginandjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung-- untuk duduk dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Soeharto; misteriusnya sikap Soeharto dalam mengambil keputusan pengunduran diri berikut ketidakpercayaan Pak Harto terhadap Habibie jika Wapresnya itu menggantikan dirinya.

Tak lupa diudar juga serangkaian kebijakan dan inisiatif yang digalang Habibie dalam 512 hari kekuasaannya: dari penyusunan Kabinet Reformasi Pembangunan yang mematahkan sinisme publik bahwa Habibie tak akan mampu mengendalikan pemerintahan; percepatan pemilu demokratis; penyusunan paket UU Politik; pembebasan narapidana politik; kebebasan berekspresi, berserikat dan pers; inisiatif menyelesaikan masalah Timor Timur, pembatasan jabatan presiden dalam dua periode, penyapihan (independensi) Bank Indonesia dari pemerintah hingga ketidaksediaan dirinya mencalonkan diri sebagai capres dalam Sidang Umum MPR 1999.

Seluruh kebijakan dan inisiatif itu merangkum sosok dan kiprah Habibie dalam menyiapkan pilar-pilar kokoh dan mendasar bagi perjalanan panjang demokrasi Indonesia. Habibie menabur benih dan dia datang untuk memberi, tidak untuk mengambil.

Goenawan Mohamad benar, selama 512 hari memimpin Indonesia, Habibie telah mengantar negeri ini dari orde arche-politik ke para politik. Dia menyusun infrastruktur berikut piranti lunaknya sehingga demokrasi Indonesia tegak di atas budaya keadaban. Bangsa ini selayaknya berterima kasih pada putra Pare-pare ini.

[*Moh Samsul Arifin]/Jawa Pos, Oktober 2006

No comments: