Wednesday, May 23, 2007

Menanda Seribu Tahun Waktu

Oleh Moh Samsul Arifin

***

Judul: IMPERIUM III, Zaman Kebangkitan Besar
Penulis: Eko Laksono
Penerbit: Hikmah Zaman Baru, Jakarta, 2006
Tebal: xxii + 455 halaman

***

SEJARAH senantiasa menawarkan insight kepada banyak orang. Sedemikian kuatnya, sastrawan kelas nobel Pramoedya Ananta Toer melambari karya-karyanya dengan pijakan sejarah tanah airnya. Dalam tradisi menulis Pram, tokoh yang menolak rekonsiliasi model Nelson Mandela di Afrika Selatan, sastra sudah larut secara jeluk dengan sejarah.

Kepedulian sama ditunjukkan P.K. Ojong, wartawan tulen yang telah menulis sejarah perang, yakni Perang Pasifik dan Perang Eropa. Ojong menguasai detil ihwal rentetan peristiwa hingga akar atau sebab musabab perang di dua area tersebut sama baiknya dengan sejarawan bertutur.

Dengan area lebih sempit, wartawan tiga zaman Rosihan Anwar mencatat kisah-kisah pinggiran dan kurang dipedulikan lewat artikel-artikel pendeknya di suratkabar atau koran. Kisah atau sejarah pinggiran dan “lokal” ini disebut Taufik Abdullah sebagai “petite histoire”. Kumpulan sejarah kecil yang diteropong Rosihan Anwar telah diterbitkan Penerbit Kompas tahun 2004 dengan tajuk “Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia”. Buku tersebut telah dicetak ulang tahun 2005.

Eko Laksono, penulis buku “Imperium III, Zaman Kebangkitan Besar” ini merangkum serangkaian peristiwa penting dan besar—layak disebut “sejarah besar” perjalanan manusia—dengan mengarungi waktu sepanjang seribu tahun. Dalam waktu tersebut, kiprah manusia terpahat pada selaksa peristiwa. Dari kisah kegemilangan, kegetiran, ekpedisi mengarungi samudra luas, penaklukan bangsa-bangsa, berjangkitnya wabah penyakit, perang yang berdarah-darah, penemuan-penemuan penting hingga merambah bulan.

Alhasil terbilanglah pendakian-pendakian puncak bangsa-bangsa di planet bumi: dari zaman keunggulan Islam, runtuhnya imperium Romawi, keluarnya Eropa via renaisans di Italia, kejayaan Inggris, superioritas Amerika hingga kebangkitan Jepang. Waktu yang dirangkum Eko Laksono melintang dari 570 hingga 2000-an.

Dibandingkan nama-nama besar di atas, Eko Laksono bukan “siapa-siapa”. Tapi, itulah yang justru menjadi daya tarik dia, ketidaktahuan publik atas sosok dirinya dimanfaatkan Eko Laksono agar publik pembaca lebih memperhatikan objek yang dia tulis. Tak heran apabila buku ini tak tertarik menampilkan sosok penulisnya. Ia laksana sebait jargon Goenawan Mohamad, “Pokok bukan tokoh”.

Di sampul belakang bukunya hanya ditulis, “Eko Laksono bukan seorang intelektual atau ilmuwan. Dia cuma seorang anak muda biasa...menggemari masa lalu, ingin melihat kemungkinan-kemungkinan baru di masa depan”. Ini adalah sebuah kerendahan hati yang terbungkus rapi di balik keterpukauan dia pada kisah kegemilangan bangsa-bangsa di dunia.

Eko Laksono menyelami berbagai ide brilian tentang manusia dan perabadan (hasil kiprah manusia) selama sepuluh tahun lebih. Buku ini meringkas semua yang dipelajarinya dalam satu dasawarsa keintimannya dengan sejarah dan pergolakan manusia menciptakan karya-karya mercusuar yang membentuk peradaban dewasa ini. Ketekunan Eko Laksono ini sepadan dengan Eko Endarmoko, penulis “Tesaurus Bahasa Indonesia” (Gramedia Pustaka Utama, 2006) yang bergumul selama 25 tahun untuk mengumpulkan kata.

***

Apa artinya seribu tahun waktu? Apa artinya waktu tanpa manusia? Adakah sejarah tanpa manusia? Bagaimana menanda waktu perjalanan manusia? Mengapa waktu harus ditandai? Secara lebih empiris, pertanyaan itu dapat diturunkan menjadi, apa rahasia negara-negara maju? Mengapa ada negara yang bisa sangat kaya raya dan bangkit dari keterbelakangan, sementara banyak yang masih terus saja melarat?

Seluruh halaman buku ini menjawabnya dengan tuntas. Dalam waktu, manusia selalu menjadi subjek. Manusia mengukir peristiwa, membangun peradaban dan juga menghancurkannya. Dengan cara itu manusia menulis sejarah lewat bahasa lisan dan bahasa tulis. Sedangkan waktu, seperti juga ruang, hanyalah medium di mana tindakan-tindakan manusia bisa ditanda dan dimaknai. Waktu dapat diperas menjadi tiga, yakni masa lalu, masa kini dan masa depan.

Eko Laksono menanda waktu (masa lalu), karena “Dia percaya semua bangsa besar pasti akan melalui sebuah proses (waktu itu sendiri)”. Misalnya menjalani ujian-ujian besar yang memungkinkan bangsa tersebut memetik pengalaman dan pelajaran. “Dan pada waktunya, semua itu (diharapkan) akan menciptakan kesadaran besar dan akhirnya, sebuah KEBANGKITAN BESAR,” demikian ditulisnya di sampul belakang buku ini.

Sejatinya ada beberapa hal yang dibabar Eko Laksono dalam buku ini. Pertama, ihwal kesadaran untuk bangkit sebagai bangsa yang maju dengan khazanah peradaban besar. Ini ditunjukkan umat Islam di masa Muhammad hingga sistem khilafah yang berakhir di Turki (yang dulunya barbar atau jahiliah), bangsa-bangsa di Eropa yang terkungkung dalam seribu tahun lebih zaman kegelapan (the dark ages), bangsa Amerika (yang diotaki kaum pendatang/imigran) hingga bangsa Jepang (yang terisolasi dari pergaulan dunia).

Bangsa Arab termasuk bangsa barbar pra nabi Muhammad. Konflik antarsuku, rebutan pengaruh dan rebutan akses sumber-sumber ekonomi amat telanjang. Tapi, mereka juga punya spirit dagang yang kental dengan nilai-nilai kosmopolitan. Dari Muhammad yang menyebarkan Islam, Muslim bisa memperluas wilayah hingga ke daratan Eropa, Cordoba (Spanyol).

Pada 711, dibawah pimpinan Tariq bin Ziyad, pasukan Muslim Umayyah berhasil menguasai Spanyol, belakangan diubah menjadi Al-Andalus atau Andalusia. Cordoba muncul menjadi kota terbesar di Eropa pada abad ke-10 masa pemerintahan Abdurrahman III. Di kota berpenduduk 500 ribu jiwa ini berkembang indutri tekstil dan sutra yang hasilnya juga dikonsumsi raja-raja Eropa seperti Roger II dan Frederick II (1194-1250) kaisar Romawi Suci yang dijuluki “Stupor Mundi” atau keajaiban dunia (hal.47-49).

Sebelum itu, pada 809 Bagdad telah menjadi pusat ekonomi raksasa. Kota ini adalah pusat penghubung pusat ekonomi dunia kala itu semacam Cina, Kepulauan Nusantara (kini Asia Tenggara), Afrika sampai ujung barat benua Eropa (hal. 30).

Bagdad makmur dibawah Khalifah Harun Al-Rasyid (763-809). Saat itu Bagdad menjadi kota kosmopolitan besar berpenduduk dua juta orang dari berbagai bangsa, dari Spanyol, India dan Cina. Kontras dengan kota-kota di Eropa seperti Paris dan London yang masih berupa kampung-kampung kecil nan kumuh. Di Bagdad (Bani Abassiyah) pula bertengger pusat ilmu pengetahuan termaju di dunia. Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun sudah sibuk mendiskusikan karya-karya besar Plato dan Aristoteles. Bandingkan dengan raja-raja Eropa yang masa itu belum bisa baca tulis (hal. 22-24).

Eropa baru bangkit di abad pertengahan, sebuah zaman kebangkitan (renaisance) yang dipendulumi kelahiran sang maestro Leonardo da Vinci dengan Itali (kota Vinci) sebagai episentrumnya (hal. 108-111). Dalam diri manusia yang konon disebut paling genius kelahiran 1452 ini berkumpul keahlian seorang pelukis, pematung, penemu, peneliti, ahli permesinan, ahli anatomi, matematika, ahli tumbuh-tumbuhan dan binatang, optik, aerodinamik, dan bahkan pemusik andal.

Belakangan bangsa seperti Perancis, Inggris, Portugal hingga Spanyol ikut menikmati semangat renaisans itu. Kebangkitan Eropa tak terpisah dengan peristiwa besar sebelumnya, yang membuat Kristen dan Muslim berkonfrontasi di medan Jerusalam dalam apa yang disebut “Perang Salib” antara 1095-1291. Bangsa Eropa, khususnya mereka yang dikirim ke Jerusalem untuk perang (crusader) dan berasal dari kampung-kampung yang terisolasi, dapat melihat dunia dengan peradaban maju, yakni Konstantinopel, ibukota Kerajaan Romawi Byzantium.

Di Eropa, barang-barang baru yang dibawa dari Konstantinopel membawa rasa penasaran akan kemajuan dan kehebatan kekaisaran di Timur itu (hal. 101). Seterusnya ide-ide kemajuan menggedor kesadaran Bangsa Eropa, apalagi setelah wabah Bubonik menewaskan sedikitnya 35 juta orang di daratan benua biru tersebut tahun 1348. Ini penyakit dengan ciri muncul gumpalan-gumpalan hitam menjijikkan dan diikuti demam tinggi dengan rasa sakit tak tertahankan. Nantinya, wabah ini ikut membantu mengikis feodalisme di Eropa. Setelah Bubonik reda, di akhir abad ke-15 perdagangan bangkit kembali di benua tersebut. Ditambah lagi kejatuhan Konstantinopel pada 1453—setahun pasca lahirnya da Vinci—Eropa mulai bangkit menjadi bangsa paling unggul di dunia (hal. 105-106).

Kedua, buku ini mendedahkan ihwal ketokohan, kecerdasan serta peran ilmu dan teknologi dalam memandu kemajuan bangsa-bangsa unggul. Akar dari kemajuan situs-situs peradaban di atas bersumber dari filsafat yang diperas dari Yunani. Ini tak terkecuali berkala di masa kejayaan kaum Muslim di masa Umayyah dan Abassiyah. Filsuf semacam Ibnu Rusyd yang lahir di Cordoba (1198) adalah penerus tradisi Aristotelian di masyarakat Muslim. Ia—di Barat dikenal sebagai “Averroes”—antara lain menerjemahkan karya besar Aristoteles, The Great Commentator of The Philosopher.

Jika bukan karena Rusyd, rasionalitas yang menjadi warisan Aristoteles mungkin tak akan menjadi basis pemikiran bangsa-bangsa di Barat saat ini. Lewat Rusyd pula, agama bisa diterima secara lebih jelas dan masuk akal. Dari Rusyd Eropa menyerap kembali pikiran-pikiran Aristoteles, termasuk mempengaruhi gerakan skolatisme dan Thomas Aquinas, salah seorang pembaru terbesar dalam sejarah gereja Katolik (hal. 50).

Tersebut juga Ibn Sina (980- 1037). Dari dokter Persia inilah ilmu kedokteran modern bermula. Sina atau Aviecena memiliki ketajaman luar biasa dalam menjelajah kompleksitas kesehatan tubuh dan pikiran-pikiran manusia. Jangan heran jika karya kedokterannya menjadi standar di universitas-universitas utama Eropa dan tak tertandingi selama masa Renaisans hingga 700 lamanya. Seperti da Vinci, pemantik kebangkitan Eropa, Sina adalah seorang polymath—seorang yang sangat cerdas dan menguasai beberapa macam ilmu sekaligus. Pembesut Al-Qanun Al-Tibb atau The Canon of Medicine—satu-satunya karya kedokteran terbesar dalam sejarah umat manusia—ini menguasai ilmu kedokteran, filsafat, psikologi, matematika, fisika, astronomi, logika, etika dan banyak lainnya (hal. 43-45).

Dalam semangat sama Copernicus, Galileo Galilei, Rene Descartes, Roger Bacon, Adam Smith, Issac Newton, hingga Michael Faraday menemukan alat-alat penting dan paradigma-paradigma dasar yang berguna bagi kemaslahatan manusia.

Namun, bukan orang cerdas atau sekolahan saja yang mencatat sejarah di Eropa. Inggris kalah perang dengan Prancis berkat seorang gadis udik asal desa Domremy, Joan of Arc. Kedua negara terlibat peperangan selama 100 tahun (100 years war). Saat itu, Prancis sudah hampir menyerah hingga muncul gadis belia 18 tahun tersebut. Joan dipercaya untuk memimpin 5.000 pasukan bersenjata Prancis. Joan dan pasukannya membebaskan kota Orleans dan mendesak Inggris hingga ke ujung utara Prancis. Sayang Joan lalu tertangkap dan dibawa ke Inggris. Tahun 1431, Joan dihukum dengan dibakar hidup-hidup. Tapi, berkat jasa Joan, Prancis keluar sebagai dalam perang melelahkan itu tahun 1453 (hal 121-122).

Ketiga, dijelaskan pula mengenai metode menuju kebangkitan dan kemajuan. Bermula dari Inggris dengan Revolusi Industri, disusul Revolusi Perancis, lalu Revolusi Amerika dan Restorasi Meiji di Jepang peradaban dirangkai. Revolusi industri kira-kira dimulai tahun 1785 dengan temuan mesin tenun, The Power Loom, mesin tenun besar dengan kemampuan produksi tinggi dan melibatkan pekerja dalam jumlah masif. Lantas ditemukan mesin uap untuk kapal laut serta mesin uap untuk lokomotif (kereta api) dengan kecepatan lumayan tinggi 60 km/jam tahun 1829. Juga tenaga listik oleh Faraday pada 1821. Dari daratan Inggris, revokusi itu merembet ke Perancis dan Amerika (hal. 159).

Dari Amerika kemajuan ilmu dan teknologi “ditransfer” ke Jepang lewat Restorasi Meiji. Restorasi Meiji atau Meiji-ishin adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji terjadi tahun 1866 -1869, tiga tahun yang mencakup akhir Zaman Edo dan awal Zaman Meiji. Restorasi ini merupakan akibat langsung dari dibukanya Jepang saat kedatangan kapal dari dunia Barat yang dipimpin oleh perwira angkatan laut asal AS, Laksamana Matthew C. Perry.

Tapi, kedatangan Perry itu justru membuka isolasi Jepang serta menerbitkan reaksi rakus terhadap ilmu dan teknologi. Lihatlah intisari Meiji Charter Oath, 1868. Di sana ditulis, “Pengetahuan akan dicari ke seluruh penjuru dunia…”. Salah satu tokohnya, Yukichi Fukuzawa (1835-1901), adalah pengkhotbah kemajuan Barat, khususnya Amerika dan Inggris (hal. 297-301).

Hasilnya, 30 tahun setelah restorasi, Jepang telah melompat cukup jauh, sejajar dengan bangsa-bangsa paling maju. Awal abad ke-20, industri tekstil Jepang telah menggeser dominasi Inggris dan Amerika yang dicontohnya. Industri tekstil, perkapalan, pesawat tempur hingga ke industri otomotif dirambah Jepang. Pertumbuhan ekonomi negeri Sakura ini mencapai 2,5 persen saat mulai PD I dan 5 persen pasca-PD I, padahal saat itu dunia tengah didera The Great Depression tahun 1929. Sempat terpuruk akibat PD II, khususnya akibat serangan bom atom Amerika di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mengalami kebangkitan kedua tahun 1950-an. Hingga 2006, Jepang bersama Amerika dan Cina menjadi kekuatan ekonomi dunia, super economic power. Toyota, Honda, Sony, Panasonic, Sanyo, Toshiba, Mitsubishi dan banyak lainnya tampil sebagai perusahaan berkelas dunia dan unggul (hal. 363).

Dan keempat, keutamaan dan peran buku dalam menggelorakan perubahan dan memprovokasi pikiran. Muhammad memerintahkan Muslim untuk menuntut ilmu hingga ke Cina, lantas Muslim mengakses tradisi filsafat Yunani, Eropa bangkit berkat penemuan mesin percetakan (pemasal buku alias ilmu dan pengetahuan) oleh Johann Gutenberg sekitar tahun 1400-an, Amerika Serikat merdeka akibat virus yang ditularkan buku “Common Sense”, dan Jepang sangat mendalami nilai Konfusius yang menyatakan “Buku ibarat gudang yang penuh berisi emas”.

Yangpaling fenomenal adalah “Common Sense” karya Thomas Paine, imigran asal Inggris. Buku tersebut ditulis Januari 1776. Dalam tiga bulan buku itu terjual hingga 100 ribu eksemplar. Maklum isinya amat provokatif, yakni menggelorakan kepada bangsa Amerika untuk keluar dari tirani dan kesewenang-wenangan. Satu semester lewat, tepatnya 4 Juli 1776, 13 wilayah koloni telah memproklamasikan United State America (hal 162-163). [April 2007]

*) Jurnalis, pecinta buku.

No comments: