Saturday, May 26, 2007

Suara Elektoral & Perolehan Kursi DPR

Oleh Moh Samsul Arifin

HASIL Pemilu legislatif telah diumumkan secara resmi oleh KPU 5 Mei lalu. Partai Golkar mengungguli PDIP dengan perolehan 24.480.757 suara (21,57 persen) atau setara dengan 128 kursi DPR RI (23,27 persen). PDIP menangguk 21.025.991 suara - setara dengan 109 kursi DPR RI. PKB (11.994.877 suara = 52 kursi), PPP (9.248.265 = 58 kursi), Partai Demokrat (8.455.213 suara = 57 kursi), PKS (8.324.909 = 45 kursi) dan PAN (7.302.787 = 52 kursi). Hanya tujuh partai ini yang lolos electoral threshold - syarat minimal 3 persen jumlah kursi DPR (Pasal 9 ayat 1 (a) UU No. 12 Tahun 2003).

Ketidakparalelan suara elektoral dengan jumlah kursi yang didapat masing-masing Parpol, membuat publik bertanya-tanya. Mengapa PAN yang suara elektoralnya hanya 7.302.787 menangguk 52 kursi DPR, sama dengan jumlah kursi yang didapat PKB yang memiliki suara elektoral sebesar 11. 994.877? Mengapa pula PPP dan Partai Demokrat yang suara elektoralnya lebih kecil daripada PKB, selisih 2,7 – 3,5 juta, mendapat kursi lebih banyak?

Para pendukung Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pun sangsi, partainya yang memperoleh suara elektoral sebesar 2.398.117 hanya dapat 2 kursi, padahal Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan 2.425.201 (selisih 27.084 suara) meraup 12 kursi.

Cetro jauh-jauh hari telah memprotes keras pengumuman sementara perolehan suara Pemilu legislatif lewat media cetak dan media elektronik. Itu didasari pertimbangan bahwa suara nasional yang didapat sebuah parpol tidak mencerminkan perolehan kursi legislatif. Pengumuman via media dianggap mendistorsi dan membingungkan rakyat. Sebab bagaimanapun orang awam tak tahu secara detail bagaimana mekanisme penghitungan dari suara elektoral menjadi kursi-kursi legislatif (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Kekhawatiran lembaga yang diketuai Smita Notosusanto itu terbukti saat ini.

Berkonsentrasi di Jawa
Fondasi penghitungan kursi adalah bilangan pembagi pemilih (BPP, kuota)—yakni jumlah total suara sah dibagi jumlah kursi yang dialokasikan di sebuah daerah pemilihan. Parpol yang mencapai angka BPP atau kelipatannya langsung mendapatkan kursi. Jika di daerah pemilihan bersangkutan masih ada kursi yang tersisa, maka partai yang memiliki sisa suara terbanyak (berdasarkan peringkat) akan memeroleh kursi tersebut.

Mengapa PAN memperoleh kursi DPR sama dengan PKB? Diduga karena partai matahari terbit ini banyak memperoleh sisa suara di 69 daerah pemilihan. Hal sama berlaku pada PDS. Juga, PAN, PPP dan Partai Demokrat menangguk kursi di daerah pemilihan yang BPPnya jauh lebih kecil. Ingat BPP di setiap daerah pemilihan pasti berbeda sebab ada dua variabel yang mempengaruhinya; jumlah total suara sah dan jumlah kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan bersangkutan. Kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan relatif tetap (tak bergerak), sementara jumlah total suara sah sangat ditentukan seberapa banyak surat suara yang dicoblos pemilih memenuhi kriteria sah menurut Undang-undang. Kemudian, tingkat partisipasi pemilih serta seberapa banyak pemilih yang terdaftar tidak datang ke TPS pada hari pencoblosan (karena Golput atau alasan lain).

Di beberapa daerah pemilihan (luar Jawa) ketiga partai ini berhasil tembus, karena BPP-nya kecil dan mereka juga diuntungkan adanya penghitungan tahap kedua - partai yang memiliki sisa suara terbanyak berhak atas kursi. Penghitungan kursi ada dua tahap. Pertama, berdasarkan BPP. Kedua, jika masih ada kursi yang belum habis dibagikan, maka dilakukuan penghitungan tahap kedua - pemilik sisa suara terbanyak berhak atas kursi tersebut.

Partai seperti PKB dan PKPB terlampau berkonsentrasi di Jawa di mana harga satu kursinya jauh lebih tinggi ketimbang di provinsi seberang. Mungkin saja karena dua partai tersebut tidak melihat peta politik geografis atau dua partai itu gagal meraup suara di luar Jawa. Sementara perolehan suara Partai Demokrat merata, tak hanya di Jawa tapi juga di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Demokrat berhasil memetik kursi kendati tidak meraup suara elektoral terbanyak di daerah pemilihan yang tersebar di pulau-pulau itu. Demokrat kebanyakan memperoleh sisa kursi - tak mencapai BPP, tapi suara yang didapat menduduki peringkat atas dalam perhitungan tahap kedua.

PAN dan PPP juga memiliki karakter seperti Demokrat, suara elektoral mereka lebih merata. Sementara PKB, nyaris 60 persen suaranya didapat dari Jawa Timur (basis mereka), 20 persen tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Selebihnya diperoleh dari luar Jawa. Di banyak daerah pemilihan, kursi DPR PKB diperoleh dari suara elektoral yang mencapai angka BPP. Hanya sedikit kursi yang berasal dari posisi sisa suara terbanyak.

Suara PKPB (partainya R Hartono dan Tutut) terkonsentrasi di Pulau Jawa (utamanya, Yogyakarta dan Jawa Tengah). Sementara PDS yang mewakili komunitas Kristen tembus sampai ke Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. PKPB memperoleh 2 kursi DPR, sementara PDS yang hirau terhadap wilayah luar Jawa mendapat 12 kursi. Bayangkan hanya dengan selisih 27.084 suara, PDS menangguk kursi DPR enam kali lipat kursi yang diperoleh PKPB. Suatu yang membingungkan bagi awam, tapi punya rasionalitas tatkala sistem pemilu daftar terbuka menggunakan penghitungan berdasarkan BPP dan sisa suara terbanyak (last remainder).

Nurul Arifin
Cara perhitungan gaya kita (jurus kuota Hamilton) ini sebetulnya telah usang. AS telah meninggalkannya sejak 1901. Sebab metode ini menyimpan segudang ”keganjilan”. Pertama, jika kursi DPR ditambah, maka kursi parpol gurem akan dimakan parpol-parpol yang menguasai daerah tertentu dan memiliki sisa suara terbanyak (last remainder).

Kedua, pertumbuhan populasi di setiap provinsi tidak langsung memastikan bertambahnya kursi untuk provinsi bersangkutan. Ini dialami negara bagian Virginia AS tahun 1901. Saat itu, laju pertumbuhan penduduk Virginia 60 persen lebih tinggi ketimbang Maine. Namun, Virginia kehilangan satu kursi, sedangkan Maine ketambahan satu kursi. Ketiga, pemekaran wilayah cenderung menyunat kursi provinsi asal yang dimekarkan.

Di atas tahun 1900-an sampai sekarang, AS memakai cara perhitungan Jurus Divisor: mula-mula sampai tahun 1940-an gaya Webster dan pasca 1940 metode Huntington-Hill. Prosedur perhitungannya berkebalikan: jumlah penduduk diurut berjajar dan dibagi divisor tertentu, sampai ke urutan terendah jumlah kursi DPR. Bilangan pembaginya bersifat tetap. Jumlah kursi untuk provinsi akan ditentukan berdasarkan peringkat hasil bagi jumlah penduduk provinsi itu dengan divisornya. Demikian pula dalam pembagian kursi DPR terhadap parpol-parpol (Alokasi Kursi, 2003). Perhitungan seperti ini jauh lebih memenuhi rasa keadilan, sebab menempatkan parpol pemilik suara terbesar untuk memperoleh kursi jauh lebih banyak.

Kalau perhitungan seperti itu diadaptasi, Nurul Arifin (dan caleg pemilik suara terbanyak) tak harus jadi korban. Seperti diketahui, aktris yang menempati caleg Partai Golkar nomor urut 3 di Daerah Pemilihan Jawa Barat VI (Karawang dan Purwakarta) itu mendapatkan 86.576 suara. Angka itu di atas perolehan caleg nomor urut 1 dan 2, Ade Komaruddin (60.064 suara), Wasma Prayitno (78.513 suara), dan caleg lainnya.

Namun, karena suara Nurul tak mencapai BPP di Jabar VIII yang sebesar 239.355, dua kursi yang didapat Partai Golkar di DP tersebut, diberikan pada Ade dan Wasma (selaku pemilik nomor jadi) walaupun suaranya di bawah sang artis. Ini adalah ironisme dari pemberlakuan sistem proporsional terbuka ala Indonesia. Lebih tragis, hanya dua orang yang memenuhi BPP di antara 550 anggota dewan. Dua orang itu ialah Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera) dan Saleh Djasit (Partai Golkar). Ironi ini mengingatkan kita untuk segera berbenah. [Sinar Harapan, 17 Mei 2004]

*) Aktivis Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.

No comments: