Thursday, May 31, 2007

Buruh Melawan Absurditas

Oleh Moh Samsul Arifin

KERISAUAN selalu bermuka dua. Yang pertama akan melahirkan ketidakpercayaan dan kedua menerbitkan perlawanan. Inilah kurang lebih alasan mengapa kalangan buruh terus mengumandangkan penolakan atas rencana revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta agar draf revisi dibicarakan kembali dalam sebuah forum Tripartit Nasional. Sebelumnya, draf tersebut bakal dikaji lima universitas papan atas: Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin dan Universitas Sumatera Utara.

Jalan keluar itu ternyata belum dapat menggeser bandul sikap kalangan buruh yang direpresentasikan sekian banyak serikat pekerja dan serikat buruh. Alih-alih memercayai pemerintah, kalangan buruh - terutama diaksentuasi oleh Aliansi Buruh Menggugat - bakal menggelar demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada 1 Mei mendatang. Konsentrasi demo akan ditumpuk di Bundaran Hotel Indonesia dan memanjang hingga Istana Negara. Demo itu diperkirakan bakal berlangsung serempak di kota-kota besar lainnya semacam Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, hingga Medan.

Sudah rahasia umum, 1 Mei atau May Day adalah Hari Buruh Internasional. Bagi sementara kalangan buruh di banyak negara, May Day ditabalkan sebagai hari kemenangan. Sebuah hari yang baik untuk merefleksikan diri dan juga mengingat langkah-langkah dan pencapaian dalam rentang waktu yang mereka susuri. May Day ada kalanya merupakan titik kulminasi saat perjuangan meningkatkan kesejahteraan ditabuh ramai-ramai.

Demo 1 Mei ini - yang ditaksir akan melibatkan 30-50 ribu buruh - belum jelas benar akan mengambil skenario yang mana. Dalam konteks UU 13/2003 saja, kaum buruh belum mendapatkan apa yang seharusnya dipegang tangan. Tengok saja upah rata-rata provinsi atau upah minimum provinsi (UMP) 2006. Berdasarkan data Direktorat Pengupahan dan Jamsostek, Ditjen Binawas Depnakertrans, UMP tahun ini rata-rata sebesar Rp 602.150,67. UMP paling besar di Papua sebesar (Rp 822.500,00) dan terendah di Jawa Timur, yakni Rp 390.000,00 (Kompas, 29/4).

Menurut saya, demonstrasi kalangan buruh hari ini bukanlah merayakan kemenangan ataupun perjuangan meningkatkan kesejahteraan. Yang lebih menonjol adalah semacam tawar-menawar kepada pemerintah agar tidak terjadi sebuah kondisi yang justru melemahkan dan merugikan kalangan pekerja atau buruh. Alias ikhtiar agar tercipta kondisi status quo dalam regulasi-regulasi perburuhan.

Sejumlah paparan mengenai pasal-pasal (tertuang dalam draf revisi) yang digugat kalangan buruh telah dikupas dalam artikel saya terdahulu: Investasi Pro Buruh! Dengan cara pandang empati, saya dapat memahami mengapa kalangan buruh terus berteriak menolak revisi UU 13/2003. Namun, yang harus dicermati, hendaknya, gerakan turun ke jalan itu menyemai gerakan damai. Pengalaman 5 April lalu, ketika puluhan ribu kaum buruh mendatangi Istana Merdeka dan kemudian singgah di Istana Wapres harusnya dihindari sejauh mungkin. Selepas perwakilan buruh diterima Wapres Jusuf Kalla, kalangan buruh melampiaskan kemarahannya dengan merusak pot-pot bunga, pohon-pohon, rambu-rambu lalu lintas hingga bus Transjakarta. Yang dikerjakan oknum buruh itu, jelas-jelas sudah mendekati holiganisme dalam dunia sepak bola. Ini adalah kutub kelakuan yang kerap mendapat cibiran dari publik.

Buat saya, sah-sah belaka setiap komponen bangsa melakukan demonstrasi. Ini dapat dipahami dalam sistem demokrasi. Akan tetapi, penting dikemukakan bahwa gerakan buruh yang bakal menggelar demo besar-besaran itu adalah sekumpulan manusia yang tak diikat oleh kesadaran bersama. Masing-masing orang yang berkumpul itu tak memiliki ikatan satu sama lain. Ada memang tujuan bersama, yakni menolak revisi UU 13/2003. Namun cara menalar ujung dan pangkal persoalannya adalah berbeda. Saya sangsi betul, tak adanya nalar itu jangan-jangan mendepak demo buruh tersebut menjadi tak punya arti.

Bagaimanapun harus dipahami, gerakan buruh saat ini hanya semacam gerakan solidaritas dan karenanya tidak tampak pelabuhan yang hendak dituju. Ini dapat dimaklumi, karena belum ada satu pun partai politik berbasis buruh yang mampu bicara di level pemilu. Serikat pekerja atau buruh yang ada saat ini juga bekerja secara partikular. Seperti umat Islam yang sulit diikat dalam satu barisan, saya menduga barisan kaum buruh demikian pula. Karena sekadar solidaritas, apa yang bisa diwujudkan?

Di ruang publik, saya menyaksikan aksi saling gertak antara kalangan buruh di satu sisi dengan aparat keamanan serta organisasi kemasyarakatan di sisi lain. Serikat Pekerja Nasional (SPN) menggertak bakal menurunkan 120 ribu massa pada demo itu. Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Firman Gani telah menetapkan Jakarta dalam kondisi Siaga I menyusul rencana demo buruh besar-besaran itu. Firman juga balik menggertak, anak buahnya di lapangan akan bertindak tegas.

Dalam apel Siaga di Silang Monas Jumat pekan lalu (28/4), Gubernur Sutiyoso memimpin apel yang diikuti 21 ribu personel keamanan gabungan, terdiri atas 12 ribu personel Polri, 5 ribu anggota TNI, dan 4 ribu anggota Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta. Belum cukup, mereka masih akan dibantu oleh 60 ribu massa ormas dan pemuda di Betawi. Demikian seperti diklaim Ketua Forum Betawi Rempug, Fadloli el Muhir.

Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta berikut jajaran Polda Metro Jaya serta Kodam Jaya itu merupakan respons dari permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghendaki Jakarta aman dan tertib sekalipun dihumbalang demo buruh massal. Apalagi dalam medio Mei, ditaksir bakal berlangsung demo dan pertemuan dengan menyedot massa dalam jumlah puluhan ribu di Ibu Kota. Persada Nusantara yang merupakan perkumpulan Pamong Desa berencana kembali memadati Istana Negara dan gedung DPR/MPR. Puncaknya, Amien Rais dkk., yang terkumpul dalam Kelompok Sembilan, akan mengundang seluruh elemen bangsa untuk mewanti-wanti dan mengingatkan pemerintah agar tidak terus menggadaikan kedaulatan dan aset nasional.

Di sinilah, seyogiyanya, kalangan buruh menata kembali tujuan dan misi mereka. Sekadar gagah-gagahan mengerahkan massa bisa menjadi percuma, jika tak ada semacam "buku bersama" di kalangan buruh tentang bagaimana UU 13/2003 dipahami. Diberlakukan sebagai hukum positif, dilakukan revisi terhadapnya, atau menyusun undang-undang yang sama sekali baru dengan catatan mengakomodasi kepentingan tiga pihak: buruh, pengusaha, dan pemerintah. Saya kira sekadar menyuarakan "tolak revisi UU 13/2003" dan berhenti pada titik tersebut bukan menyelesaikan persoalan.

Di atas segalanya, kalangan buruh memang harus mendapat jaminan dari pemerintah dan DPR bahwa draf yang ditolak mereka tak diungkit-ungkit lagi. Namun, yang lebih penting adalah menemukan suara yang tunggal dari sekian banyaknya serikat pekerja dan serikat buruh di tanah air. Secara samar-samar, saya menyaksikan ajakan SBY untuk menghidupkan Tripartit Nasional belum efektif karena rumah tangga serikat pekerja dan serikat buruh belum dapat membuat konsensus di antara mereka sendiri.

Ada sementara kalangan yang menyebutkan, cerai-berainya serikat pekerja dan serikat buruh itu akibat dari pemerintah dan pengusaha sendiri. Menurut saya, ini ada benarnya, sebab di kalangan serikat pekerja atau serikat buruh ada pula lapisan elite yang menempatkan dirinya sebagai majikan dan memiliki kepentingan yang bercabang.

Sungguh saya cemas. Biar pun Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar memastikan tak akan hadir provokator dalam demo buruh massal, kecenderungan saling gertak antara serikat pekerja atau serikat buruh dengan polisi dan ormas itu justru kontraproduktif bagi keinginan buruh memecahkan persoalannya. Kita mengimbau polisi untuk mengenyahkan personel dari ormas dan organisasi pemuda yang terlibat dalam pengamanan demo. Kehadiran mereka sangat ganjil, kalau bukan justru membuat persoalan baru. [Pikiran Rakyat, 1 Mei 2006]

No comments: