Monday, May 28, 2007

Menuju Nasionalisme Substantif

Oleh Moh Samsul Arifin

DALAM khazanah bangsa ini, kita menyaksikan nasionalisme sebagai wujud cinta Tanah Air dilakukan dengan santun, elegan, dan beradab. Dapat dikatakan bentuk-bentuk kekerasan nyaris absen. Namun, dewasa ini kita menyaksikan ekspresi nasionalisme sudah diwujudkan dengan kekerasan.

Penyerbuan dan perusakan kantor hingga pemukulan terhadap aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) oleh sekumpulan massa pada 27 Mei 2003 secara telanjang mengabarkan itu semua. Dianggap tidak nasionalis karena menentang operasi militer di Aceh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan HAM dan antikekerasan itu secara ironis justru menjadi korban tindak kekerasan. Adakah ini sebuah petaka "nasionalisme"?

Apa sejatinya nasionalisme Indonesia itu? Dan, bagaimana cara menyatakannya?

Peristiwa 27 Mei itu sangat menyesakkan tatkala massa berseragam ala militer itu memaksa Ketua Presidium Kontras Ori Rachman menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan mereka. Karena gugup, akibat diintimidasi massa, si aktivis tidak fasih lagi menyanyikan lagu kebangsaan karya WR Supratman itu. Akibatnya, bogem dan pukulan massa mendarat ke tubuhnya. Pria bertubuh kecil itu tak berdaya karena dikerubungi massa.

Kita semua tahu bahwa Kontras termasuk salah satu pihak yang kontra terhadap operasi militer di Aceh kendatipun pemerintah juga menggelar operasi terpadu, yakni dengan operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, dan operasi pemantapan roda pemerintahan di sana. Penolakan itu sebetulnya tidak bermasalah karena demokrasi menghalalkan keragaman pendapat.

Hak Kontras untuk menolak atau mendukung karena mereka punya basis argumentasi yang memadai sebagai pejuang HAM dan antikekerasan. Dan, massa tersebut juga punya hak yang sama untuk menyatakan setuju atau menolak operasi militer. Bahwa kemudian massa itu berada di pihak yang pro-operasi militer, tidak berarti mereka boleh memaksakan pendapatnya itu pada pihak lain.

Tidak dapat dibenarkan apabila atas nama "nasionalisme", suatu pihak memaksa pihak lain bersikap serupa. Bukankah kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hal yang paling inti dalam sistem demokrasi.

Aksi dan tindakan kekerasan dewasa ini bukanlah hal yang baru sama sekali di ruang publik kita. Seribu satu alasan bisa memantikkan kekerasan, entah karena problem ekonomi, sosial, politik, hingga agama. Teater kekerasan pentas setiap saat hingga membuat kita semua waswas dan prihatin.

Sangat disayangkan, ruang publik yang sepatutnya dipandang sebagai ruang bersama terkelupas menjadi semacam "ruang privat", tempat aneka nafsu kekerasan bertumbukan saling mencari panggung untuk pentas. Tidak ada kerelaan melepas otonomi pribadinya untuk diserahkan pada otoritas negara. Justru, masing-masing pihak saling mencaplok otonomi orang lain. Pada beberapa kasus, pencaplokan otonomi itu sudah tidak dapat ditolerir karena nyaris berimpitan dengan sikap dan tindak-tanduk kaum fasis.

DALAM keadaan di mana otonomi pihak lain sudah tidak dihormati, kekuatan argumentasi bukan lagi utama dan pokok. Siapa saja yang punya kekuatan otot (fisik) bisa menafikan otonomi pihak lain. Penyerbuan terhadap Tempo, atau UPC tahun lalu (dan terakhir perusakan terhadap Kontras), menurut hemat penulis, terjadi dalam sebuah logika seperti itu. Padahal, seperti dikemukakan oleh John Locke, dalam bernegara seyogianya rakyat mengikhlaskan hak-hak tertentu untuk dapat menciptakan kemaslahatan umum (common good).

Di atas segalanya, dalam menyatakan nasionalisme, tidak diperlukan syarat orang lain mesti sepaham dengan kita. Tak perlu pentungan, sangkur atau pisau. Nasionalisme adalah ide yang abstrak, kendatipun ia menyimpan magisme, yakni dapat menyatukan sebuah bangsa dalam satu memori yang sama. Memori atau kenanganlah yang menyatukan sebuah bangsa yang plural (majemuk) dalam satu identitas yang dimiliki bersama. Oleh karena itu, Bennedict Anderson memandang nasionalisme sebagai komunitas terbayang (imagined community).

Nasionalisme Indonesia sendiri dapat dikatakan dibentuk dalam satu kenangan (memori) yang sama antarbangsa-bangsa (etnis) yang mendiami nusantara ini sebagai bangsa terjajah (bekas koloni Belanda). Sejak 17 Agustus 1945, nasionalisme kita lebih dikonkretkan oleh para pendiri bangsa dengan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melintang dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Papua). NKRI ini merupakan bentuk final negara kita dan semakin dikukuhkan ketika ST MPR Agustus 2002 memutuskan bentuk negara kesatuan tidak mungkin bisa diamandemen.

Ketika GAM merongrong wibawa NKRI, maka dalam perspektif ini gerakan separatis Aceh itu mesti ditumpas. Ini bukan saja pandangan militer yang punya tugas mempertahankan negara dari rongrongan/serangan dari dalam dan luar negeri. Tetapi juga menjadi basis argumentasi pemerintah dalam melakukan operasi militer di Tanah Rencong.

Dalam pandangan ini, mempertahankan NKRI sama dengan menyelamatkan nasionalisme Indonesia. Itulah yang dikritik oleh Kontras. Bagi Kontras, operasi militer bukan jawaban untuk menyelesaikan Aceh. Sebaliknya, dialog dianggapkan sebagai jalan terbaik karena cara ini dapat mengurangi potensi korban di pihak sipil yang tidak ikut-ikutan dalam konflik.

Menjadi tentara (militer) berarti harus siap perang setiap saat karena jiwa raga prajurit itu sejak awal memang diabdikan untuk Ibu Pertiwi. Kalau ada prajurit TNI yang membelot pada GAM itu berarti prajurit tersebut tidak nasionalis. Tapi, jika ada organ masyarakat sipil tidak setuju dengan operasi militer di Aceh, tidak dapat disimpulkan bahwa mereka tidak nasionalis.

Penarikan kesimpulan bahwa yang tidak setuju operasi militer adalah anasionalis merupakan kerancuan berpikir (intelectual cul-de-sac-"karena itu maka ini").

Masing-masing komponen bangsa di negeri ini punya media masing-masing untuk menyatakan kecintaannya. Sangat tidak mungkin segenap komponen bangsa mewujudkan nasionalisme dengan cara yang tunggal. Bukan karena sifatnya yang abstrak, tetapi karena nasionalisme itu mesti "longgar" sesuai dengan zaman dan konteks persoalan yang melingkupinya. Mengkritik tindakan pemerintah yang dinilai keliru juga karena terdorong rasa nasionalisme. Kalau tidak punya rasa itu, ya, cuek saja.

Apabila nasionalisme hanya diartikan sebagai tameng untuk melindungi wilayah (teritorial). Maka cara demikian, akan memudahkan setiap pihak "memanfaatkan" konsep ini untuk kepentingannya sendiri. Atas nama nasionalisme, pemerintah pusat berlaku sewenang-wenang kepada daerah yang menuntut pembagian ekonomi yang lebih adil. Nasionalisme Indonesia seharusnya mampu mengakomodasi aneka kepentingan setiap komponen bangsa di negeri ini. Dan, bukan sarana eksploitasi pusat terhadap daerah atau eksploitasi manusia atas manusia lain.

Semestinya kita memaknai nasionalisme Indonesia sebagai keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Tanah Air dari eksploitasi kaum kaya kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oknum atau lapisan bangsa Indonesia sendiri. Watak nasionalisme Indonesia adalah pemerdekaan, pembebasan, pertolongan, dan pengangkatan pihak yang dizalimi (YB Mangunwijaya, 1997). Kukuh dan kokohnya nasionalisme, sangat bergantung pada sejauh mana keadilan dapat diwujudkan di negeri ini. [Kompas, 12 Juni 2003]

*) Aktif di Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta

No comments: