Wednesday, May 30, 2007

Resistensi Bisnis Militer

MELETAKKAN militer atau the mens of the sword kata Niccolo Machiavelli di tataran (track) yang benar selalu tidak lebih mudah daripada memindahkan gerbong kereta api ke rel. Situasinya akan lebih pelik manakala militer terbiasa terjun di medan politik dan bisnis di negaranya. Kondisi ini barangkali yang membuat Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan TNI dengan terpaksa tetap menjalankan bisnisnya.

"Kalau masalah itu belum tercapai maka saya dengan terpaksa harus melakukan itu (baca; berbisnis) dalam rangka menjadikan prajurit terbantu kesejahteraannya meskipun tidak maksimal," ujar Panglima dalam acara pertemuan bulanan dengan wartawan dalam dan luar negeri di Markas Besar TNI Cilangkap, bulan silam (Sinar Harapan, 31/8).

Benarkah militer berbisnis karena terpaksa? Adakah persinggungan antara politik militer dengan kepentingan bisnis mereka? Jikalau militer bersikukuh berbinis, apa pengaruhnya bagi demokratisasi di Tanah Air? Dalam studi tentang militer di banyak negara diketahui keterlibatan militer di dunia bisnis adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Di Argentina misalnya, perusahaan militer memproduksi sistem rudal canggih. Demikian pula di Brasil, Cile, Guetamala, dan Elsalvador militer berbisnis dengan memproduksiperlengkapan dinas ketentaraan.

Sedangkan di Ekuador, angkatan bersenjata tidak hanya memiliki perusahaan sendiri (Direccion de Industrial del Eljercito/DINE) yang memproduksi amunisi dan peralatan militer dalam jumlah besar, tetapi juga memproduksi bus dan kendaraan ringan, mesin dan peralatan industri, barang-barang konstruksi, pelat baja hingga pipa minyak. Bahkan kiprah mereka diatur dalam konstitusi nasional Ekuador.

Akan halnya, kiprah TNI di dunia bisnis di negeri kita berjalan seiring keterlibatan mereka dalam politik. Hal itu mereka kerjakan untuk mendapatkan perlindungan otonomi dan kepentingan korporat mereka. Sejak militer diabsahkan bermain politik lewat konsep "Jalan Tengah", aktivitas bisnis kaum militer tampil dengan dalih civic mission (misi kewargaan).

Civic mission alias ngobyek ini (mencari peruntungan ekonomi), mengutip Hermawan Sulistyo, dilakukan dengan dua "operasi". Pertama, "Operasi Bakti" yangbertujuan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat perang. Dan,kedua "Operasi Karya" yang bermaksud mempersempit jarak antara lokasi danayang diberikan kepada tentara dan kebutuhan ideal korps.

Ketika Orde Baru berkuasa, militer (TNI) boleh dikatakan mengalami dua " kenikmatan" sekaligus, yakni keleluasaan berpolitik dan preferensi untuk berbisnis. Militer bukan saja bertindak sebagai struktur penyangga kekuasaan Soeharto, tapi juga "aktor" dari imperium bisnis Orde Baru. Secara individu, para jenderal atau elite militer sering jadi broker bagi pengusaha tertentu untuk berkolaborasi dengan kekuasaan. Di lain pihak, posisi militer sebagai alat kekuasaan menjadi modal utama untuk menjalankan bisnis mereka (para jenderal atau institusi militer).

Kerap kali dijumpai korespondensi antara politik militer dengan kepentingan bisnis mereka. Maklumlah pola hubungan antara politik dengan ekonomi di Indonesi cenderung mengarah pada politisisme: Siapa yang punya power (politik) akan mudah memperoleh akses ekonomi. Maka dari itu, tak heran jika tuntutan akan perubahan politik dan ekonomi di masa Orde Baru selalu direspons militer secara negatif. Hal ini terkait dengan kepentingan militer, yakni melanggengkan status quo yang akan memberi kemudahan pada mereka mengakses sektor bisnis!

Tercatat pada tahun 1967, gurita bisnis militer, khususnya AD, menjalar ke banyak bidang usaha tatkala kelompok bisnis Diponegoro (dirintis Soeharto dikala menjadi Pangdam IV Diponegoro) melakukan merger dan memperluas bidang usahanya di sektor perkapalan dan stevodoring. Lambat laun, militer ikut pula menguasai kepemimpinan BUMN, mulai dari Pertamina (Ibnu Sutowo) hingga Bulog (Achmad Tirtosudiro).

Selain itu, militer juga merambah bisnis dengan mendirikan yayasan dan koperasi dengan core bussines yang beragam sejak kontraktor hingga perhotelan. Di antara institusi bisnis militer yang menonjol tersebutlah Yayasan Eka Paksi (YKEP), Yayasan Dharma Putra (milik Kostrad), Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK Kobame) atau Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad) yang dikembangkan oleh Kodim. Pada tahun 1990, YKEP membangun Kawasan Niaga Terpadu Sudirman (Sudirman Central Business Distric/SCBD) yang menelan biaya sekitar US$ 3,25 miliar. Tahun itu juga, bersama dengan Tommy Winata (PT Karya Nusantara) dan Santoso Gunara (PT Carana Karthapura), YKEP memiliki saham di Bank Artha Graha (sekarang mau dimerger bersama empat lainnya) sebanyak 40 persen (lihat Militer dan Gerakan Prodemokrasi: 2002).

Sampai saat ini, tak kurang 50 unit usaha bernaung di lingkungan TNI. Seperti dituturkan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, bisnis yang dikerjakan TNI antara lain dalam bidang perkayuan,perikanan, pertanian, perhubungan dan transportasi serta perbankan. Angka taksiran ini berdasarkan jumlah Kodam, sebanyak 17, ditambah dua Komando Operasional, dua armada, dan komando utama lain, seperti Marinir, Paskhas, Kopassus dan Kostrad.

Pada banyak kasus, militer diperkenankan berbisnis asal hal itu dilakukan dalam kondisi "transisional". Maksudnya, militer mengerjakan tugas non-tradisional apabila kondisi bangsa memaksa untuk itu dan kalau militer diperkirakan tidak turun mudharatnya jauh lebih besar bagi kehidupan bangsa dan negara.

Menurut pengamat militer asal AS, Louis W. Goodman (1995), setidaknya ada tiga pantangan yang tidak boleh diterobos oleh peran misi non-tempur (perang) militer. Pertama, keterlibatan militer akan menghalangi kelompok lain untuk mengambil peran dalam persoalan tersebut, sehingga menghambat organisasi sipil untuk mengembangkan kemampuan kritisnya dan menghambat perluasan peran sipil dalam masyarakat.

Kedua, pihak militer akan mendapat privilege tambahan sehubungan peran non-tempur tersebut, sehingga membuat enggan mereka untuk melepaskannya. Ketiga, angkatan bersenjata mungkin akan terlibat terlalu jauh dalam misi non-tempur itu, sehingga mengabaikan misi utamanya, yakni pertahanan. Bisnis militer di masa Orde Baru, menurut hemat penulis, sudah menerobos ambang yang ditolerir Goodman di atas. Kalaupun sekarang gencar upaya mereformasi peran militer yang ditunjukkan dengan kemauan internal TNI untuk redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran baru mereka dalam kehidupan bangsa.

Di sana-sini kita masih melihat resistensi kalangan militer, terutama yang menikmati manisnya bermain bisnis dengan diback-up kekuasaan (power) warisan Orde Baru. Tidak berhenti di situ, resistensi tersebut makin mengental setelah anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk operasional militer tak kunjung memadai. Disebut-sebut, dana yang disediakan pemerintah cuma 30 persen dari total yang dibutuhkan TNI. Tak heran karena kekurangan dana tersebut, TNI dan Polri menerima bantuan jutaan dolar dari AS untuk meningkatkan peralatan dan kemampuan tempurnya. Dengan lingkup persoalan seperti itu, argumentasi Panglima TNI, bahwa institusinya terpaksa menjalankan aktivitas bisnis sedikit banyak dapat dibenarkan. Selama pemerintah tak mampu menjamin biaya operasional TNI, termasuk kesejahteraan prajurit, kita bakal menyaksikan mereka malang-melintang di dunia bisnis.

Persoalannya, sekarang ini seluruh misi militer di luar misi tradisional yakni misi tempur, tidak bisa leluasa lagi. Demokrasi menghendaki misi tempur mesti menjadi tugas pokok mereka, sehingga aktivitas non-tempur harus pula dikurangi pada tingkat yang minimal, kalau perlu ditiadakan sama sekali. Dalam domain politik, kaum militer sebagai alat negara dituntut untuk menghormati supremasi sipil. Sedangkan di bidang bisnis, militer (terutama yang masih aktif) diminta menyerahkan tugas-tugas bisnis kepada golongan profesional. Boleh dikatakan, di satu sisi demokrasi telah membuat senjakala bisnis militer.

Di pihak lain, evaluasi terhadap misi militer menjadi keniscayaan di alaf baru. Kalaupun aktivitas bisnis di negeri kita saat ini belum dapat dihentikan, kita berharap militer melakoninya dengan kesadaran penuh, tidak serampangan dan menjalankan prinsip bisnis sebagaimana layaknya kaum pebisnis profesional. Kelak tidak ada lagi militer aktif (jenderal atau prajurit) yang aji mumpung memanfaatkan posisi kemeliterannya untuk menambang kekayaan. Demikian pula pensiunan militer menguasai betul persoalan bisnis, jikalau ingin terlibat mengurus unit usaha yang dimiliki TNI. [Sinar Harapan, 16 September 2002]

*) Pengkaji sosial politik Centre for Bureaucracy Studies Jakarta

No comments: