Tuesday, May 8, 2007

G 30 S dan Penarikan Buku Sejarah

Oleh Moh Samsul Arifin *)

Pramoedya Ananta Toer tak sepenuhnya salah ketika dengan ketus mencela rekonsiliasi yang digalang Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000. Kata pembesut tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca ini, "omong kosong saja rekonsiliasi. Lihat saja, pelarangan buku-buku saya. Itu saja mereka (Orde Baru) tidak mampu membatalkan. Belum lagi naskah-naskah yang dirampas dari saya. Kapan dikembalikan? Naskah saya ada delapan yang dibakar Angkatan Darat. Memangnya negara bisa membuat naskah saya? Lantas, menaruh konsep rekonsiliasi dalam bentuk salaman begitu saja" (Forum, 26 Maret 2000).

Sebagai korban, hati Pram tersayat-sayat jika mengingat masa lalu. Bisa dipahami karena sastrawan kelas nobel kelahiran Blora, Jawa Tengah, itu dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang disebut mendalangi pembunuhan para jenderal TNI-AD, 30 September 1965. Akibatnya, Pram dibuang ke Pulau Buru tak kurang 14 tahun. Namun, justru di sanalah ia melahirkan tetralogi plus Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1 & 2.

Sepanjang Orde Baru, PKI ditabalkan sebagai aktor peristiwa keji tersebut. Antara 1965-1998, peristiwa itu dimaknai tunggal sebagai "G 30 S/PKI" atau Gerakan 30 September yang didalangi PKI. Ketika gelombang demokratisasi melanda tanah air tahun 1998, sejarah mencair. Ada keinginan kuat untuk mengungkap kembali siapa dalang peristiwa tersebut. Sebetulnya, ada pelbagai versi ihwal dalang G 30 S. Selain PKI, disebut pula Sukarno, Soeharto, Angkatan Darat (AD), kekuatan asing, yakni CIA (intilejen Amerika Serikat). Namun, gerendel Orde Baru demikian kuat, sehingga tak cukup mampu menembus tafsir tunggal sang penguasa. Seperti kata Stalin, "Sejarah memang milik mereka yang menang".

Hingga Presiden SBY, rekonsiliasi yang digagas Gus Dur itu tidak melaju di rel benar. Dan pelacakan siapa dalang sesungguhnya G 30 S tidak bermuara pada subjek sama. Tapi, justru ketidaksamaan subjek itulah yang bisa mengantar bangsa ini menemukan aktor sejati peristiwa berdarah pra-peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto tersebut.

Terakhir yang bikin heboh adalah Antonie C.A. Dake dengan buku Sukarno File. Ini adalah buku kedua pria kelahiran Amsterdam yang menghebohkan publik Indonesia. Buku pertamanya, In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking (1973) dilarang masuk Indonesia oleh rezim Soeharto. Pada Sukarno File (2006), Dake membuat kesimpulan bahwa Sukarno adalah dalang G 30 S! Kesimpulan ini menerbitkan polemik dan keluarga Sukarno menyomasi Dake.

Begitulah, buku tak hanya kertas, temuan besar yang berasal dari peradaban Tiongkok. Buku tak lain dan tak bukan adalah "virus" yang dapat mencerahkan, sekaligus menggelapkan sejarah. Keajaiban buku sudah dibuktikan bangsa-bangsa unggul yang pernah berjaya sepanjang 570 hingga 2000-an. Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu hingga ke negeri China (Tiongkok).

Magisnya petuah itu terbukti tahun 751, saat terjadi perebutan wilayah antara pasukan Abbasiyah dengan tentara Tiongkok dari Dinasti Ming di Kazakstan. Kala itu pasukan muslim memenangkan pertempuran dan menahan beberapa tawanan yang ternyata di antaranya ahli membuat kertas. Inilah cikal bakal industri kertas di Bagdad, ibu kota khilafah Abbasiyah, pada 800. Padahal Eropa baru mengenal kertas abad ke-13. Seterusnya mengilhami orang muslim di masa Harun Al-Rasyid dekat dengan buku. Lewat buku, umat Islam mengakses tradisi filsafat Yunani dan membantu mereka meraih kejayaan.

Kemajuan peradaban Eropa bermula dari ditemukannya mesin percetakan pada 1450 oleh Johann Gutenberg. Mesin ini dapat mencetak kertas dan buku secara masal. "Tanpa waktu lama, penemuannya itu tersebar dengan cepat ke mana-mana. Buku mulai diproduksi besar-besaran di seluruh Eropa. Harga buku pun menjadi sangat murah dan terjangkau banyak orang. Eropa lalu dilanda demam membaca (lihat Imperium III: 110).

Jepang yang bangkit sebagai bangsa maju pasca-restorasi Meiji dan pasca-Perang Dunia II juga menempatkan buku sebagai gerbang ilmu. Masyarakat Jepang disebut sangat mendalami nilai Konfusius bahwa "buku ibarat gudang yang penuh berisi emas". Bukan suatu yang aneh jika di akhir abad ke-19, sedikitnya 30 persen warga Jepang sudah bisa baca-tulis. Dan, sedikitnya 14 ribu unit sekolah rakyat (terakoya) berdiri di sekujur negeri Matahari Terbit itu.

Restorasi Meiji terjadi 1866 -1869, akhir Zaman Edo dan awal Zaman Meiji. Restorasi ini merupakan akibat langsung dari dibukanya Jepang saat kedatangan kapal dari dunia Barat yang dipimpin perwira angkatan laut asal AS, Laksamana Matthew C. Perry. Kedatangan Perry justru membuka isolasi Jepang serta menerbitkan reaksi rakus terhadap ilmu dan teknologi. Lihatlah intisari Meiji Charter Oath, 1868. Di sana ditulis, "Pengetahuan akan dicari ke seluruh penjuru dunia…". Salah satu tokoh restorasi, Yukichi Fukuzawa (1835-1901) adalah pengkhotbah kemajuan Barat, khususnya Amerika dan Inggris.

Yang paling fenomenal adalah Common Sense karya Thomas Paine, imigran asal Inggris. Buku ini ditulis Januari 1776. Dalam tiga bulan buku itu terjual hingga 100 ribu eksemplar. Maklum isinya amat provokatif, yakni menggelorakan kepada bangsa Amerika untuk keluar dari tirani dan kesewenang-wenangan . Satu semester lewat, tepatnya 4 Juli 1776, 13 wilayah koloni telah memproklamasikan United State America.

Kini, sejarah berulang. Kejaksaan Agung secara resmi melarang buku-buku sejarah yang dalam penulisan peristiwa G 30 S tidak mencantumkan kata PKI (Jawa Pos, 10/3). Selain itu, Kejagung mempersoalkan tidak dibubuhkannya pemberontakan PKI di Madiun 1948 dalam buku sejarah untuk murid sekolah. Ini tercantum dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007. Lebih parah lagi, Skep itu juga melarang proses pengadaannya.

Menurut Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin, kejaksaan, kepolisian dan alat negara yang berwenang menjaga ketertiban diwajibkan menyita buku-buku teks sejarah dimaksud. Tak pelak kalangan penerbit terbirit-birit. Penerbit Erlangga, misalnya, mengambil langkah cepat dengan menarik seluruh buku pelajaran sejarah untuk SMA dari kelas I sampai III di sebuah toko di Solo, Jawa Tengah, ketimbang dirazia alat negara.

Saya tak habis pikir dengan tindakan Kejagung itu. Meski belum ada tindakan konkret, keputusan itu adalah represi terhadap akal sehat. Tindakan demikian mengindikasikan penguasa kalap atau dipengaruhi kepentingan partisan yang menganggap G 30 S didalangi aktor tunggal dan sudah definitif. Cara pandang semacam ini kontraproduktif dengan ide rekonsiliasi yang terbit bersamaan tumbangnya rezim otoriter di negeri ini. Penguasa terpedaya untuk melanggengkan sindiran Stalin bahwa hanya sang pemenang yang boleh menulis sejarah. Melawan lupa ternyata memang bukan pekerjaan mudah! (* Jawa Pos, 25 Maret 2007)

*) Moh Samsul Arifin,
bekerja di sebuah stasiun televisi

No comments: