Tuesday, May 8, 2007

Membaca Kritis Hasil "Polling"

Oleh Moh Samsul Arifin

DALAM enam bulan terakhir, silih berganti dipublikasikan hasil jajak pendapat (polling) oleh pelbagai kalangan, entah itu lembaga penelitian, lembaga penerbitan (media massa), atau lembaga yang mengazamkan diri sebagai body for polling. Coba selidiki lembaga seperti IFES, IRI, Cetro, Cesda LP3ES, Soegeng Sarjadi Sindicated (SSS), hingga LSI. Mereka getol melakukan jajak pendapat. Topik menarik yang kerap disigi antara lain kandidat capres, kinerja/performance parpol, kinerja politisi/parlemen, kinerja pemerintah, hingga golongan putih (Golput).

SETIAP kali hasil polling diumumkan, publik dibuat kaget, heran, dan ragu-ragu. Dalam sebuah polling misalnya, Megawati Soekarnoputri ditaksir pamornya kembali menguat, melampaui para pesaingnya seperti Hamzah Haz, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Abdurrahman Wahid, atau Amien Rais. Di kesempatan lain, sebuah penyelenggara polling mengumumkan Amien Rais menyodok ke atas dan tak tersaingi kandidat presiden lain. Lain waktu, dikatakan SBY melambung meninggalkan pesaing lainnya dengan perolehan suara signifikan.

APA yang dapat dicermati dari fenomena ini? Mengapa hasil polling oleh sejumlah lembaga kerap bertolak belakang? Bagaimana seharusnya membaca hasil polling oleh sejumlah lembaga yang kini tumbuh menjamur? Lebih jauh apa kontribusi polling bagi demokrasi?

Jajak pendapat merupakan alat untuk meneropong sejauh mana aspirasi, harapan, dan keinginan publik luas atas sebuah kebijakan publik. Polling berkepentingan untuk mengukur opini dan merapatkan aspirasi publik luas dengan kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Dengan bantuan polling, pemerintah dapat melakukan sinkronisasi setiap kebijakan yang ditempuh dengan aspirasi publik luas. Misalnya, suatu waktu pemerintah menempuh kebijakan menaikkan TDL (tarif dasar listrik). Momentum itu lantas digunakan sebuah lembaga untuk menyigi apakah publik setuju dengan kebijakan itu. Karena hasil jajak pendapat menyimpulkan, kebijakan yang diterbitkan tidak disetujui publik, pemerintah memoderasi kebijakannya pada kesempatan lain.

Polling dalam hal ini menjadi medium publik-karena ia juga merupakan stakeholder-untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan yang akan diterbitkan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, getolnya jajak pendapat oleh pelbagai kalangan harus dibaca sebagai upaya membantu perkembangan demokrasi di Tanah Air. Seperti demokrasi yang masih seumur jagung, polling adalah sesuatu yang baru, terutama jika kita meletakkannya dalam dinamika politik menjelang perhelatan pemilu tahun depan. Baru sekarang polling menghiasi riuh rendah Indonesia modern, setidaknya diukur dari intensitas polling enam bulan terakhir.

Kemajuan teknik polling akhir-akhir ini yang diberi imbas revolusi teknologi industri-menyitir Alvin dan Heidi Toffler-tak pelak adalah gedoran telak terhadap sistem demokrasi perwakilan yang dianut banyak negara. Menjamurnya perangkat teknologi dari komputer, satelit, telepon, teknik polling hingga Internet membawa pesan kepada manusia modern, partisipasi langsung oleh publik luas bukanlah pepesan kosong.

Kian dewasa kemajuan teknologi informasi di sebuah negara, maka polling semakin mudah dilakukan. Itulah mengapa suami istri Toffler menyebut di masa depan demokrasi langsung bukan sebuah pencapaian, tetapi keniscayaan yang tak mungkin dihindari. Anthony G Wilhelm dalam Democracy in the Digital Age (2000), tanpa ragu-ragu memperkirakan, kelak partisipasi politik oleh publik akan lebih banyak dilakukan di ruang cyber (maya). Kini, di negeri ini kita bentuk partisipasi demikian, sedikit banyak telah dilakukan seiring tumbuh kembangnya polling oleh media penerbitan dalam situs-situs milik mereka.

Dalam studi media dikenal tiga pendekatan dalam menilik kemajuan teknologi informasi, yakni Dystopian, Neo-futuris, dan Teknorealis. Kalangan Neo-futuris seperti Toffler, John Naisbitt, Jim Ruben, atau Nicholas Negroponte relatif kurang kritis atas kemajuan teknologi informasi. Mereka menerima hal-hal yang baru dan menganggapnya sebagai kekuatan-kekuatan yang menggilas semua yang dilewati dan meletakkan dasar kerja untuk masa depan yang penuh harapan.

Kaum Dystopian amat berhati-hati dan bersikap kritis terhadap penerapan teknologi komunikasi, sebab, menurut mereka, kemajuan teknologi ini berpeluang mengacaukan kehidupan sosial dan politik. Sementara, kaum teknorealis-diwakili para profesional, jurnalis, dan akademisi bidang teknologi-mengakui adanya berbagai kepentingan di balik penggunaan media. Kalangan ini berkepentingan untuk menjembatani dua pendekatan yang disebut di awal, Dystopian dan Neo-futuris. Wilhelm, termasuk penganut aliran ini.

URGENSI polling bagi demokrasi agaknya tak dapat ditawar lagi. Tetapi, dalam praktiknya kita harus selalu kritis terhadap hasil polling. Hasil polling selama enam bulan terakhir boleh dipahami sebagai gambaran kasar guna membaca peta politik menjelang Pemilu 2004 yang kini-pukul mundur-kurang dari 200 hari.

Namun demikian, polling harus tetap diletakkan sekadar alat untuk membaca kecenderungan dan bukan "memastikan" kecenderungan (survei/polling bukan bukti empirik), apalagi realitas politik itu sendiri. Angka 33,5 persen yang diperoleh Megawati dalam polling, tak bisa langsung dikonversi menjadi suara dalam pemilu nanti. Hasil itu sekadar mewakili jumlah responden yang disigi.

Pertama, sebelum membaca hasil polling tidak terlalu keliru bila kita menyelidiki siapa yang menyelenggarakan jajak pendapat. Ini berkait dengan independensi lembaga itu dan obyektivitas jajak pendapat yang dilakukan. Catatan kritis patut dikedepankan, sebab dewasa ini ada gejala lembaga penyelenggara polling kerap menerima pesanan dari pihak-pihak tertentu, seperti parpol atau tokoh-tokoh politik.

Dalam sebuah kesempatan, Ketua MPR secara ketus menyebut hasil polling di Tanah Air tergantung siapa yang membiayai. "Dalam sebuah polling, saya ada di urutan atas dan di kesempatan lain jeblok. Buat saya, polling kadang-kadang tidak masuk akal." (Koran Tempo, 29/9). Bila dicermati secara saksama, beberapa lembaga polling kerap tidak beda dengan broker politik. Bila tidak menjadi broker, setidaknya hasil polling bisa menjadi "undakan" para penggeraknya untuk memperoleh keuntungan politik atau ekonomi. Inilah politik di belakang polling.

Kedua, metode polling dan sampel populasi yang digunakan. Jajak pendapat dengan telepon agaknya kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Minimnya pengguna telepon yang kurang dari 10 persen serta konsentrasi mayoritas pengguna yang ada di daerah perkotaan adalah satu alasan mengapa polling jenis ini kurang efektif guna menggambarkan kenyataan riil. Melihat sosio-ekonomi, pendidikan, dan geografi Indonesia, polling lewat wawancara atau tatap muka lebih memadai.

Polling jenis ini pun bisa meleset, bila penyelenggara kurang hati-hati menentukan sampel populasi serta asal daerah responden. Jajak pendapat yang diselenggarakan di basis parpol tertentu, misalnya, sudah tentu hasilnya akan menguntungkan parpol bersangkutan. Anehnya, sebuah lembaga penyelenggara polling acap mengabaikan faktor ini sehingga hasilnya "bias" kepentingan parpol. Tidak jelas apakah ini disengaja, karena penyelenggara memaksudkan polling sebagai bargaining atau hanya kesalahan teknis yang luput dari perhatian.

Di titik inilah kita menjumpai lembaga penyelenggara sering mengalami disorientasi, sehingga hasil yang didapat kurang bermakna-untuk tak mengatakan sekadar menguatkan hasil polling oleh lembaga lain. Buat saya, pembacaan terhadap survei yang kelewat top score sentris-sebagaimana dilakukan nyaris seluruh lembaga atau media massa akhir-akhir ini-ikut memberi andil atas disorientasi publik terhadap politik nasional. Sungguh aneh bin ajaib lembaga polling mengidap "penyakit" ingin memelihara status quo. [Kompas , 16 Oktober 2003]

*) Moh Samsul Arifin, Aktif di Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta

No comments: